Related Websites

Sabtu, 26 September 2009

Asuransi : Kepastian Untuk Menjawab Ketidakpastian

Masih jelas rasanya gambaran dibenak kita mengenai kejadian – kejadian yang melanda negeri, baik dari pemboman , gempa bumi , banjir bandang dan kejadian – kejadian yang tidak pasti dan kita duga sebelumnya. Namun kini ada hal untuk meminimalisir ketakutan – ketakutan dan sesuatu hal yang tidak pasti tersebut. Asuransi adalah jawaban yang tepat untuk meminimalisir dari keadaan – keadaan tersebut.

Sebab asuransi adalah sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya. Secara tidak langsung adanya sebuah jaminan akan adanya ketidak pastian.

Karena, fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan resiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan resiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan resiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya.

Namun, sebagai hal yang perlu diingat adalah fungsi dari asuransi bukanlah untuk mencari keuntungan, tetapi mengalihkan resiko kerugian yang mungkin kita hadapi ke pihak lain (dalam hal ini perusahaan asuransi). Sebab selama ini hanya citra seperti itu lah yang melekat pada sebuah perusahaan asuransi.

Karena pada dasarnya, polis asuransi adalah suatu kontrak yakni suatu perjanjian yang sah antara penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung, dimana pihak penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul dimasa yang akan datang dengan imbalan pembayaran (premi) tertentu dari tertanggung.

Sebagai catatan penting dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. (www.wikipedia.or.id)
Badan yang menyalurkan risiko disebut "tertanggung", dan badan yang menerima resiko disebut "penanggung". Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan: ini adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar oleh "tetanggung" kepada "penanggung" untuk risiko yang ditanggung disebut "premi". Ini biasanya ditentukan oleh "penanggung" untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan.

Dalam konteks ini, fungsi proteksi pada asuransi secara tidak langsung diperuntukkan guna mendatangkan kesejahteraan bagi para nasabah. Artinya, selain mendapatkan proteksi dari berbagai kejadian tak terduga/kemalangan, nasabah/pemegang asuransi juga bisa merencanakan pengelolaan keuangan jangka panjang melalui pembelian produk asuransi dengan unsur investasi. Sehingga para nasabah terhindar dari sebuah resiko yang mengancam. Risiko adalah bahaya, akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam bidang asuransi, risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, di mana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian. Tetapi tidak semua resiko pula yang dapat diasuransikan, berikut perihal tanggungan resiko yang dapat diasuransikan Resiko-risiko yang dapat diasuransikan adalah : risiko yang dapat diukur dengan uang, risiko homogen (risiko yang sama dan cukup banyak dijamin oleh asuransi), risiko murni (risiko ini tidak mendatangkan keuntungan), risiko partikular (risiko dari sumber individu), risiko yang terjadi secara tiba-tiba (accidental), insurable interest (tertanggung memiliki kepentingan atas obyek pertanggungan) dan risiko yang tidak bertentangan dengan hukum. Dan untuk itulah asuransi muncul untuk menjawab kenyataan yang ada. Munculnya skema ini bisa memberikan rasa aman bagi para nasabah dan mereka bebas dari kekhawatiran perihal risiko keuangan di masa mendatang, serta kepastianlah yang ada untuk menjawab ketidak pastian.

22/09/2009

Selasa, 18 Agustus 2009

Mengenang Kepergian si Burung Merak

Kemarin dan esok adalah hari ini / Bencana dan keberuntungan sama saja / Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa//
Kabar duka masih menggelayut di Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok. Belum habis rasa duka yang mendalam dengan kepergian seniman fenomenal Mbah Surip (52) yang dikebumikan Selasa (4/8) malam, kabar duka datang lagi.
Setelah dirawat karena menderita serangan jantung koroner, budayawan dan penyair besar Indonesia WS Rendra wafat pada usia ke-74 di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat.
Pendiri Bengkel Teater yang termasyur itu dikenal sebagai seniman serba bisa, tidak hanya budayawan terkemuka nasional, penyair dan dramawan besar, namun juga seorang aktor.
Disutradarai Sjuman Djaya, dan berpasangan dengan aktris Yati Octavia, pada 1977, Rendra pernah membintangi film remaja "Yang Muda Yang Bercinta," namun kemudian dilarang beredar karena tujuan-tujuan politis saat itu.
Dalam salah satu penampilan puisi terkenalnya pada Mei 1998, di ruang gedung DPR RI semasa awal reformasi, almarhum berorasi dengan membacakan puisi karya aktivis dan penyair Wiji Thukul yang kesohor, "Hanya ada satu kata, Lawan!"
Jauh sebelum itu, pada 1990an, bersama para seniman dan musisi seperti Iwan Fals, Setiawan Jodi, Sawung Jabo, dan lainnya, Rendra menggelar konser Kantata Takwa yang fenomenal dan mengusik rezim Orde Baru saat itu, diantaranya dengan menggelegarkan lagu "Bento" yang penuh kritik.
Di luar kehidupan rumah tangganya yang ramai oleh perhatian media, Rendra mungkin merupakan salah seorang sastrawan Indonesia paling berpengaruh tidak hanya pada dunia seni dan sastra nasional kontemporer, namun juga pergerakan sosial dan politik Indonesia pada empat dekade terakhir.
Lahir pada 7 November 1935 di kota Solo, Jawa Tengah, Rendra yang juga cerpenis ini pernah berkuliah pada Jurusan Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setelah sebelumnya menamatkan SD sampai SMA di St. Yosef, Solo, pada 1955.
Pada 1964, dia memperoleh beasiswa dari American Academy of Dramatical Art, sampai selesai menempuhnya pada 1967.
Salah seorang ikon sastra nasional yang dikenal dengan sebutan "Si Burung Merak" ini terlahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah, dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra.
Sejak masa remaja, Rendra sudah terbiasa menulis naskah drama sampai kemudian menjadi salah seorang dramawan besar Tanah Air, namun dikenal sebagai sastrawan independen dan memiliki ciri khasnya sendiri.
Oleh karena itu, mengutip Prof. A. Teeuw dalam "Sastra Indonesia Modern II (1989)" seperti ditulis Wikipedia Indonesia, Rendra tidak termasuk pada satu pun angkatan sastra Indonesia, baik Angkatan 45, Angkatan 60an dan Angkatan 70an.
Rendra menikah tiga kali dengan tiga perempuan berbeda. Pertama pada 31 Maret 1959 dengan Sunarti Suwandi yang darinya dia dikarunia lima anak, yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Klara Sinta.
Kedua, pada 12 Agustus 1970, dia menikahi murid seninya yang juga keturunan Keraton Yogyakarta, Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat. Dari Sitoresmi, Rendra dikaruniai Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.

Terakhir, Rendra menikahi Ken Zuraida, hingga kemudian dikarunia Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Pada 1979 dan kemudian pada 1981, Rendra berturut-turut menceraikan Sitoresmi dan Sunarti.
Diantara belasan naskah drama terkenalnya adalah "Orang-orang di Tikungan Jalan," "Panembahan Reso," dan "Kasidah Barzani." Rendra juga menulis banyak puisi dan sajak, diantaranya yang terkenal adalah "Nyanyian Angsa" dan "Sajak Rajawali."
Rendra juga beberapa kali memperoleh penghargaan sastra, diantaranya :
* Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Depdikbud,Yogyakarta (1954)
* Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
* Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
* Hadiah Akademi Jakarta (1975)
* Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
* Penghargaan Adam Malik (1989)
* The S.E.A. Write Award (1996)
* Penghargaan Achmad Bakri (2006). (wikipedia.or.id)

Dia pamit bukan tanpa pesan. Melalui sakit yang agak lama dideritanya, sudah ada tanda-tanda sebagai pesan untuk pergi. Si Burung Merakpun terbang bebas menempuh jalan tak terelakkan, yaitu jalan maut miliknya. WS Rendra, sang penyair, sang dramawan, sang eseis, dan budayawan yang digelar Si Burung Merak, dalam sosoknya yang spiritual, telah terbang melepaskan jasad buminya ke langit tinggi yang tak berawan, juga tak bermega mendung, dan tanpa ruang dan waktu yang menggoreskan makna kesementaraan.
Rendra, Si Burung Merak perkasa, telah masuk ke suasana akhirat yang mungkin sangat dekat, dan sekaligus sangat jauh dari tanah air, dari bumi, dan dari alam kefanaan yang menjadi bagian dari lingkungan hidup kita.
Rendra tergolong mereka yang berdiam di angin karena hanya mau berdiri tegak di atas kebenaran meski harus hidup berseberangan dengan banyak orang, terutama dengan mereka yang tenggelam di dalam lumpur kebejatan kekuasaan dan materi. Dia menyatakan, telah kusetubuhi hidup ini dan kutemukan bahwa hidup ini tak perawan lagi.
Rendra bergumul dan bergelut intens dengan hidup ini atau menyetubuhi hidup ini dan menikmatinya dengan caranya sendiri. Dia memasuki hidup ini secara total dan tuntas meski orang lain pun sudah memasukinya dengan caranya masing-masing secara dangkal dan asal-asalan sehingga yang ditemukan bukan orgasmus rohani yang terlepas dari ikatan bumi, melainkan rasa kecewa, rasa bimbang, gamang, dan bahkan frustrasi keduniawian.
Cara Rendra yang telah sungguh-sungguh memasuki kedalaman hidup yang sarat makna telah menghadirkan citra dirinya sebagai sebuah cermin datar bening. Setiap orang dan bahkan masyarakat, bangsa, dan pemerintah dapat bercermin diri ke dalam cerminnya untuk menemukan kurap dan kudis, kuman dan cacat, aib dan dosa dari dirinya atau lembaganya masing-masing.
Kadangkala kejujuran dan keberanian cermin memantulkan secara satirik dan bahkan sarkastis wajah dan tampang objektif setiap orang yang mau bercermin. Siapa yang jujur dan berani menatap wajahnya sendiri dapat mengubah wajahnya lebih baik dengan sikap, tutur kata, dan tindakan nyata yang manusiawi dan berkeadilan.
Senyumnya yang energetik memancarkan energi kemanusiaan dan keadilan melalui karyanya seperti puisi, drama atau teater, dan esei-esei formal atau literer. Sebagai pencinta manusia dan kemanusiaan, dia menjalani sebuah hidup yang terkesan sosialis karena menemani siapapun secara akrab tanpa membedakan suku, agama, profesi, gender, nasionalitas, dan status sosial.
Keagungan dan keanggunan gaya hidup humanistik yang penuh rasa iba kemanusiaan mencitrakan dirinya sebagai seniman bertampang super yang dikiaskan pada burung merak dengan bentangan bulu-bulunya yang penuh warna cemerlang dan kemilau. Si Burung Merak sudah menjelma menjadi burung mitos dalam diri sang raja penyair dan dramawan modern Indonesia, WS Rendra.
Si Burung Merak sudah kembali ke langit melalui rahim bumi, rahim Ibu Pertiwi, yang menerima jasad tubuhnya. Ars longa, vita brevis, karya seni dan buah karya Rendra yang lain akan bertahan jauh lebih lama dari usianya yang sudah selesai dijalaninya. Kita akan tetap bisa berdialog dengan Rendra yang hidup dengan mengapresiasi dan mendalami makna-makna kebenaran, kebaikan, juga berbagai makna pesona serta haru kemanusiaan dalam karya-karyanya, terutama dalam contoh hidupnya yang konsekuen sebagai seniman sejati hingga saat menerima mautnya.
Si Burung Merak sudah terbang jauh dan kehilangan bayang-bayang kepakan sayap-sayapnya dari tatapan mata kita. Namun, sang tokoh yang agung dan anggun itu akan selalu menjadi cermin menarik tempat kita dapat bercermin diri.

Rabu, 03 Juni 2009

Facebook : Solusi Atau Problem ?

Demam facebook sepertinya tengah melanda masyarakat kita belakangan ini. Tidak hanya terbatas pada masyarakat kota besar, tetapi facebook, dalam artian yang lebih luas internet, telah lazim dipakai oleh masyarakat kota kecil.

Kemudahan akses internet yang disediakan oleh berbagai provider membuat facebook menjadi lebih populer dibandingkan pendahulunya, friendster. Selain facebook, sebenarnya ada beberapa situs pertemanan lain misalnya twitter, myspace, kaskus, dll.

Di Indonesia facebook merupakan situs yang tergolong banyak diminati, mungkin salah satunya karena facebook termasuk situs yang ‘bersih dan tertutup’. Artinya kita bisa menyeleksi siapa saja yang kita ijinkan masuk dalam daftar teman kita.

Facebook (disingkat FB) yang mendunia dan banyak menjaring pengguna dalam waktu singkat ditemukan pada tahun 2004 oleh seorang mahasiswa Harvard yaitu , Mark Elliot Zuckerberg (lahir 14 Mei 1984; umur 25 tahun). Anak dari Edward dan Karen Zuckerberg. Ia adalah seorang programer komputer dan pengusaha asal Amerika Serikat. Menjadi kaya di umurnya yang relatif muda karena berhasil mendirikan dan mengembangkan situs jaringan sosial Facebook di saat masih kuliah dengan bantuan teman Harvardnya Andrew McCollum dan teman sekamarnya Dustin Moskovitz dan Crish Hughes. Saat ini ia menjabat sebagai CEO Facebook.

Forbes mencatatnya sebagai milyarder termuda, atas usaha sendiri dan bukan karena warisan, yang pernah tercatat dalam sejarah. Kekayaannya ditaksir sekitar satu setengah miliar dolar Amerika. (id.wikipedia.org)

Awal tahun 2009 Mark Zuckerberg mendapat penghargaan Young Global Leaders. Zuckerberg mengklaim bahwa 60 persen anggota FB mengunjungi FB mereka setiap hari untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh teman-teman mereka karena informasi tentang aktivitas dari orang-orang yang masuk dalam jaringan penggunanya selalu updated.

Sebagai sarana "gaul dunia maya" terpopuler, FB berbeda dari situs lain, penggunanya dapat "mengintip" foto ataupun pertemanan anggota yang lain, sehingga meski bukan tidak mungkin menganggap FB sebagai sarana pornografi masih dipertanyakan dan berkesan berkelebihan.

Belakangan kritikan muncul dari sejumlah ulama karena FB dianggap dapat mendorong terjadinya perselingkuhan, sehingga mereka mencari jalan untuk membuat regulasi perilaku online di Indonesia.

Maklumat ini dimaksudkan untuk memperingatkan Muslim Indonesia karena banyak di antara pengguna FB adalah siswa, dan dikhawatirkan FB disusupi cyber pornography.

Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sebagian ulama sering mengaitkan sesuatu dengan aktivitas seksual, apakah mereka secara konstan berpikir tentang seks?

Jika dilihat dari segi sosial, seringkali kita bisa berkomunikasi kembali dengan teman lama kita, menjalin silaturahmi, dll. Facebook juga bisa menjadi tempat dakwah, saling berbagi ilmu, dan membentuk komunitas-komunitas yang positif.Apa itu salah?

Bahkan, para kandidat dari capres , dan cawapres di negeri ini juga menggunakan facebook sebagai media berkampanye. Bahkan ada beberapa teman saya yang memiliki hobby menulis lalu mempublikasikannya di facebook yang berisi tentang pencerahan – pencerahan agama , politik , sosial , dan budaya. Lalu apakah tindakan mereka itu juga disebut haram? Dikarenakan mereka menggunakan media yang haram. Alangkah kasihannya mereka!

Analogi sederhanya adalah jika ada buku porno, yang haram adalah tindakan orang dan policy yang mencetak buku porno tersebut, bukan mesin cetaknya. Kalau mesin cetak dianggap haram, ulama yang menfatwakan itu bukankah konyol?

Selain itu, saya juga bertanya-tanya kenapa cuma facebook yang dipermasalahkan? Toh masih permasalahan yang melanda di negeri ini, seperti kemiskinan dan kesejahteraan atau mengenai ulama – ulama yang meminta bayaran dalam berdakwah.

Lagian, menurut saya facebook sangat menghargai privasi kita dan facebook sangat menjaga keamanan pengguna. Misalnya saja bila kita memasang foto yang dinilai sedikit vulgar, facebook seringkali menghapus foto tersebut.

Sebab dalam Islam yang saya fahami, harus dibedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan ide, keyakinan, konsep yang muncul dari ideologi tertentu, atau merupakan derivasi dari pandangan hidup tertentu. Maka jika sekumpulan ide, keyakinan, konsep ini bertentangan dengan akidah Islam maka hukumnya haram.

Sedangkan iptek setahu saya itu termasuk madaniyah 'aam yang bebas nilai. Termasuk internet dan segala aplikasinya. Kalau pun dianggap haram, yang lebih tepat adalah ide, gagasan atau tindakan (hadharah) yang menciptakan aplikasi internet itu, bukan internetnya sendiri.

Situs jejaring sosial yang bisa merekatkan silaturahmi itu halal (apalagi untuk dakwah), tetapi situs jejaring sosial untuk kencan sex itu yang haram.

Lebih efektif jika wacananya diarahkan kepada tindakan orang dan policy-nya yang ada dibalik internet atau aplikasinya. Merasa Facebook sebuah problem? Usulkan policy yang bisa menghilangkan kemudharatan tersebut. Atau buat aplikasi jejaring yang baru yang lebih baik, bukan dengan cara mengeluarkan fatwa – fatwa konyol.

Bagaimanapun facebook adalah salah satu teknologi. Tak perlu dibenci, karena teknologi dicipta untuk mengakomodasi. Apapun tujuan awal penciptaan facebook, asal kita selalu berhati-hati, Insya Allah akan terhindar dari yang tidak diingini.

Lalu, mereka memiliki pandangan yang dangkal tentang kemampuan pengikut mereka untuk membuat keputusan bagi diri mereka yang berakibat pada kebutuhan untuk melarang banyak hal.

Semoga ini dapat menjadi sebuah refleksi kita bersama , apakah facebook sebuah solusi atau problem?

Minggu, 17 Mei 2009

Manuver dan Konspirasi Panoptikan


Sebuah ironi membungkam karir dan nama baik seorang Antasari Azhar, tokoh pemberantas kejahatan keuangan negara ini justru terhempas oleh isu kurang sedap, akibat terlibat asmara dengan caddy cantik dan berujung maut pada direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Pasal 340 KUHP telah dijadikan kepolisian untuk mengirim Antasari ke balik jeruji besi. Sesuai pasal 32 angka 1 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, besar kemungkinan Antasari Ashar akan diberhentikan selamanya daripada sekadar diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana kejahatan.

Kasus Antasari telah "membajak" kasus-kasus yang lain dalam pemberitaan, bukan saja karena yang bersangkutan adalah Ketua KPK (sekarang diberhentikan sementara), tapi juga karena di antara sekian dugaan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Nasrudin, motif "cinta segitiga" antara Nasruddin, Rhani dan Antasari telah menjadi dugaan yang paling mengemuka. Rani Juliani si mantan caddy yang tadinya nobody, tiba-tiba menjadi somebody!

Pemberitaan telah terkonstruksi pada masalah asmara, bukan tereksplorasi pada berbagai kemungkinan. Aspek ini memang paling mudah menarik perhatian bukan saja karena dugaan ini "seksi," tapi juga karena kekuasaan, uang dan perempuan dianggap three-in-one.

Benar atau tidaknya tuduhan asmara terhadap Antasari menjadi hal yang kesekian, dugaan ini telah menjadi bola panas di berbagai media.

Munculnya kasus Antasari-pun menjadi plus-plus. Sejumlah anggota DPR mempertanyakan keabsahan keputusan KPK minus Antasari, meminta KPK tidak melakukan apa-apa, kental nafsu kebirinya, padahal kepemimpinan KPK bersifat kolektif-kolegial. Memang banyak yang tak nyaman dengan Antasari, tak kurang yang "membonceng" ketika kasusnya merebak, sehingga bukan hanya kedinya yang plus-plus, tapi juga spekulasi terkait kasus tersebut.

Adanya kasus Antasari Azhar yang ada saat ini, seperti ada hipokrisi di sebuah lembaga yang menyandang nama baik di negeri ini. Bahkan, pameo (Nasihat klasik) bahaya tiga “Ta” harta , tahta , dan wanita seakan menjadi realitas.

Jika kita melihat pada sejarah romantika kekuasaan di kerajaan Romawi, Julius Caesar harus tunduk pada kemolekan Cleopatra tanpa perlu memperhitungkan akal sehatnya. Kekuasaan tampaknya sangat dekat dengan konspirasi. Apalagi , untuk sebuah lembaga yang menjadi musuh besar bagi para koruptor.

Panoptisisme

Jika kita membuka cakrawala berpikir, seperti ada gelisah dan khawatirnya dengan kemungkinan ketua KPK itu menjadi korban semacam konspirasi orang-orang yang menaruh dendam kesumat terhadapnya atau orang – orang yang kedoknya akan terbuka oleh institusi ini. Itu akibat banyak tokoh dan pejabat terkemuka yang dikirim ke penjara oleh KPK karena korupsi. Jika berlandaskan dengan hal tersebut, hal ini memungkinkan adanya manuver panoptikan.

Hal ini merupakan sebuah istilah yang digagas oleh Michael Foucault dalam karyanya, Discipline and Punishment. Foucault menyebut panopticism sebagai bentuk pengendalian dan pengawasan yang menekankan pada gerak individu didalam sebuah ruang dan senantiasa ada, tanpa diketahui orang yang sedang diawasi. Tujuannya adalah menghancurkan elemen yang dianggap berbahaya. Panoptikan dapat menjadi sesuatu yang disadari maupun tidak oleh warga kotanya.

Kehadiran panoptikan pun membentang dalam rentang waktu yang tidak terbatas, namun mengambil bentuk yang berbeda.

Apabila panoptikan itu diterapkan dalam ruang politik, manuver tersebut merupakan bentuk pengendalian ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan oleh agen-agen sosial untuk menciptakan kepentingan – kepentingan tertentu. Pengawasan tersebut dilakukan dalam dua strategi yaitu pengisolasian individu dalam ruang, dan mengusir orang yang tidak diperkenankan untuk berada di dalam sebuah ruang.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membeberkan gagasan Foucault, melainkan kaitannya mengenai kasus Antasari Azhar yang diduga menjadi dalang dibalik kejadian semua ini, secara menarik hal yang digagasnya, yaitu mengenai panopticism (panoptikan). Maka manuver panoptikan ini sangat berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh ketua KPK saat ini. Dimana Antasari Azhar telah dikendalikan dengan menggunakan kedua strategi tersebut. Tentu saja ini merupakan konspirasi grand scenario besar bagi orang yang menaruh dendam kesumat atau orang yang takut kejahatannya akan terbongkar dan ini dilakukan juga untuk memojokkan institusi pembasmi koruptor.

Karena mereka dianggap berbahaya, dan harus disingkirkan. Tentu saja, penyebab ini juga menjadi salah satu faktor, terciptanya konspirasi tersebut.

Manuver itu mengakibatkan tiga hal, pertama adalah terbentuknya opini bahwa lembaga pemberantas korupsi yang superbody saja tercoreng mukanya oleh perilaku orang dalam sendiri yang tidak bersih dari praktik-praktik berbau moral, maka tidak ada lagi institusi penyidik yang bisa diharapkan segera menghabisi koruptor.

Ini mirip kasus penangkapan anggota Komisi Yudisial (KY) Irawadi Joenoes oleh KPK. Mantan jaksa itu kemudian divonis 8 tahun penjara karena terbukti menerima suap. Irawadi jelas tidak ''jatuh'' sendirian, tetapi secara citra lembaganya ikut tercoreng. KY seolah meredup pamornya setelah itu. Padahal, dalam sidang pengadilan, KY secara institusional tak terbukti terlibat.

Kedua, akan ada kasus korupsi yang tidak akan terselesaikan atau menggantung , sebab dengan berkurangnya satu orang, sangat mungkin terjadi kedudukan berimbang dalam voting. Jika demikian yang terjadi, akan sangat sedikit perkara yang bisa diputus KPK dan itu sangat mungkin terjadi. Hal itulah yang dikhawatirkan banyak pihak.

Ketiga, ini merupakan hikmah berharga bagi untuk para pemimpin dan calon pemimpin, sebab konspirasi busuk sangat dekat dengan kekuasaan.

Keempat, kinerja KPK yang melambat atau berjalan pelan akan mematikan spirit dan antusiasme masyarakat untuk bahu-membahu melawan korupsi. Itu berbahaya dan semakin menjauhkan negeri ini dari mimpi kesejahteraan, reformasi birokrasi, dan sebagainya. Atau, ini merupakan bagian dari skenario para koruptor untuk mematikan KPK? Atau, pihak lain yang menghendaki Indonesia tetap menjadi bagian dari rantai kemiskinan? Siapa tahu ?

Namun, jika Antasari kelak terbukti dan menjadi terdakwa yang harus diketahui adalah Antasari hanya individu bukanlah institusi pemberantasan korupsi, jadi kelakuan salah seorang penyidik di KPK itu memang tidak bisa dianggap representasi semua perilaku orang dalam KPK. Sebab opini buruk yang terlanjur berkembang luas jika tidak segera dapat dihapus akan menjadi tamparan memalukan bagi reputasi, citra, dan kredibilitas KPK sebagai superbody pemberantasan korupsi. Lalu, pemerintah harus tegas dan menggantinya sesuai dengan mekanisme Undang – undang yang telah ada.

Namun, ke mana pun arah perkembangannya, perlulah diingatkan bahwa masyarakat tidak dapat dibohongi. Siapa pun yang mencoba berbohong, tidak jujur, atau membuat rekayasa, betapa pun canggihnya, akan sia-sia. Benar kata sebuah ungkapan, "Crime does not pay." Sejarah telah membuktikannya. Berkali-kali.

Sekali lagi, sekedar mengingatkan agar berhati – hati terhadap manuver panoptikan, sebab kita tidak tahu bahwa telah diawasi dan dikendalikan oleh agen – agen sosial ke dalam keadaan yang sarat kepentingan.

Sabtu, 02 Mei 2009

D.I.Y

Melawan Budaya Konsumtif
DIY (Do. It. Yourself)

ini budaya atau kebudayaan terlalu sering dibicarakan dalam tema-tema besar yang serba abstrak. Seperti dalam pidato-pidato kebudayaan yang menuntut refleksi yang dalam dan kecerdasan nalar-logika yang rumit. Tentu saja ruang-ruang perenungan budaya seperti ini penting. Pada (KOMPAS , 01 Mei 2009) Rubrik FOKUS yang membahas tentang bahaya laten budaya konsumtif yang mungkin saja bisa berimbas pada titik nadir peradaban, tentu saja hal ini membuat gelisah bagi sebagian orang. Di satu sisi, ia bersumber dari dalam, berupa feodalisme dan di sisi lain, ia datang dari luar, dari konsekuensi-konsekuensi globalisasi dan transnasionalisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh banyak faktor , sehingga media massa juga merupakan salah satu peran yang paling dominan lahirnya budaya ini.

Kehidupan kita banyak terhanyut iklan, produk teknologi modern, dan gaya hidup yang serba instan. Keadaan itu semakin ditunjang oleh sistem dunia yang memberi ruang sangat besar pada tumbuhnya kapitalisme dan korporasi global.

Baik dari iklan – iklan ,dan banyak tayangan di televisi tidak mendidik dan mencerahkan, tapi mengajarkan gaya hidup glamor, kekerasan, dan mistik yang menumpulkan akal sehat.

Pelan tapi pasti, sinetron-sinetron yang ada ditelevisi memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak muda, khususnya para pelajar. Imitasi pun banyak dilakukan, mulai dari cara berpakaian, makan, minum, berbicara hingga bergaul. Tetapi tidak elok sepertinya jika kita hanya menyalahkan media massa , sebab kita tidak akan menemukan sebuah solusi jika hanya menyalahkan.

Tapi, sesungguhnya untuk saat ini hal yang paling menarik adalah bagaimana kita melawan konsumerisme. Kesadaran dari setiap individu terhadap budaya konsumtif serta prestisius juga harus dibenahi. Jika dalam keadaan negara yang sekarang sedang morat marit, ditambah lagi dengan perilaku manusianya yang selalu menuruti gaya hidup mewah, glamor dan gengsian, maka segala upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak akan terelakkan lagi. Akibatnya KKN bertebaran dimana-mana, dari tingkat pedesaan hingga pemerintah sentral.

Perlawanan Strategis

Untuk itu ada beberapa bentuk perlawanan strategis yang harus dibangun untuk melawan budaya konsumtif yang bisa kita lakukan.

Pertama, membangun pendidikan kritis terhadap masyarakat , sebab pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran diri dan mengembalikan kemanusiaan manusia. Dalam hal ini pendidikan berperan membangkitkan kesadaran kritis sebagai syarat upaya untuk melawan konsumerisme. Sebab dibalik konsumerisme terdapat proses dehumanisasi dimana orang dipaksakan untuk selalu membeli. Artinya disitu pendidikan adalah bentuk perlawanan paling utama untuk membangun kesadaran masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan sistem sosial ekonomi. Sehingga pendidikan cenderung sebagai sarana untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan dan ketidakadilan. Pendidikan yang memproduksi sistem kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, dan kesadaran lainnya. Sehingga pendidikan diharapkan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk melawan dehumanisasi, eksploitasi kelas, dominasi gender, dan dominasi serta hegemoni budaya lainnya.

Kedua , mengantisipasi budaya instan yang mengganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses, dan prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga harus dilawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya-budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab. Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras.

Ketiga, membangun budaya yang produktif dan berdikari. Budaya yang hanya bisa memakai, menghabiskan waktu dan uang yang tak bermanfaat, harus dilawan dengan budaya yang lebih memberikan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Kalau sekarang kita hanya menjadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk luar negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing), Ubahlah kebiasaan "membeli yang baru" atau istilah bekennya "lembiru" (lempar beli yang baru!) dengan kebiasaan memperbaiki, mendaur ulang, atau "membuat yang baru". Mulai dari hal-hal kecil saja. Hal ini merupakan filosofi dari kaum underground yang biasa disebut DIY (Do It Yourself).

Berbagai hal bisa kita lakukan dalam koridor DIY ini. Mulailah dari lingkungan di sekitarmu. Rumah misalnya. Lihatlah peralatan-peralatan di rumahmu! Adakah yang rusak atau memerlukan sedikit 'sentuhan' baru? Jika ada yang rusak cobalah untuk memperbaikinya sebisa mungkin. Lihatlah, masih banyak hal-hal lain yang bisa kita lakukan. Tergantung inisiatif dan kreatifitas kita. Dengan begitu, kita tidak perlu takut untuk terpengaruh oleh pola hidup konsumtif, dan hedonis. Sebab pada dasarnya kita bukanlah bangsa yang gampang terpengaruh oleh budaya konsumtif yang bisa menghancurkan peradaban.

Medan, 01 Mei 2009

Hormat Penulis

MIQDAD

Kamis, 23 April 2009

Bersikap Cerdas dalam Menerima Kekalahan

Bersikap Cerdas dalam Menerima Kekalahan

Oleh : Miqdad

Prosesi pesta rakyat khususnya pemilu legislatif telah usai pada tanggal 9 April lalu, namun hal tersebut menciptakan persaingan keras bagi calon legislatif baik di internal dan eksternal partai politik.

Sebab sebanyak 11.215 caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112. 000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota, (www.kpu.go.id). Hal yang paling pasti dalam persaingan itu adalah ada yang terpilih menjadi wakil rakyat, dan ada pula yang tidak.

Untuk para politisi yang berhasil meraup suara rakyat agar melaksanakan janji – janjinya ketika ia berkampanye. Lalu untuk calon legislatif yang tidak terpilih , apakah pernyataan siap menang dan siap kalah itu bisa diterima dan dipertanggung jawabkan? Menerima kemenangan lebih mudah daripada menerima kekalahan.

Semoga semua caleg yang bertarung jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kekalahan. Tidak sebaliknya, jauh-jauh harus sudah berangan-angan menjadi anggota legislatif. Menjadi seorang wakil rakyat harus berdasarkan keinginan untuk mengabdikan diri kepada negara , bukan didasari oleh kekuasaan dan harta semata. Sebab, sejumlah kekecewaan itu dialami para caleg ambisius yang gagal menggapai kursi anggota legislatif.

Yang tidak bisa menerima kekalahan sebagai suatu kewajaran dalam pertarungan yang selalu ada menang dan kalah. Tidak sanggup menerima kekalahan akan sangat memengaruhi mental dan dapat mengguncang kejiwaan. Dikhawatirkan, rumah sakit jiwa menjadi rumah baru bagi para caleg yang kalah itu. Sebab hal yang paling memilukan dihati saya adalah kemarin ketika membaca di beberapa media massa yang memberi kabar seorang calon legislator yang berasal dari Kota Banjar nekat gantung diri, dikarenakan tidak lolos.

Tulisan ini bukan bermaksud under estimated terhadap para calon legislatif yang tidak terpilih pada pemilu legislatif 2009 kali ini. Tetapi lebih mengajak bagaimana caranya untuk membangun cara berfikir dan memiliki sikap yang cerdas dalam menerima kekalahan , serta peran partai politik dalam membangkitkan semangat caleg yang tidak terpilih. Pola berfikir yang harus dibangun yaitu menganggap seluruh biaya yang dikeluarkan selama bertarung memperebutkan kursi legislatif sebagai sedekah kepada masyarakat. Apa yang telah diberikan kepada masyarakat jangan dianggap sebagai nilai yang harus dibayar masyarakat dengan suara di hari pemilihan umum. Berfikir seperti itu , para caleg yang tidak terpilih secara tidak langsung adalah orang yang mengabdikan diri kepada Negara dan masyarakat. Sebab tidak terpilihnya para caleg yang telah berjuang pada pemilu legislatif kali ini, bukan berarti ‘kalah’ dalam segalanya.

Hal yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap siap kalah secara berani. Sebab hal tersebut dapat membangun kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik hanya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tertanam motivasi dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. Apalagi misalnya, persaingan yang berujung pada kekalahan itu telah menelan materi yang tidak sedikit, hingga rumah digadai dan mobil dijual.

Mengutip pernyataan Ketua Forum Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (FJKKJ) dr G Pandu Setiawan, SpKJ (pada KOMPAS 09 April 2009) Anggota keluarga juga memiliki peran dengan menghibur dan menasihati kepada caleg yang gagal terpilih pada Pemilu, 9 April 2009, sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang bersangkutan.

Sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi.

Tanggung Jawab Partai Politik

Calon anggota legislatif bisa mendapatkan nomor urut karena direkrut oleh partai politik. Beberapa alasan partai politik melirik caleg yang bersangkutan karena memiliki kapasitas, kualitas bahkan karena popularitas. Namun, beberapa caleg memberanikan diri untuk mendaftar ke partai politik dengan berbagai alasan, diantaranya ikut merubah nasib bangsa, hanya sekedar coba-coba sampai hanya untuk memenuhi kuota tertentu.

Lolos tidaknya caleg bisa ikut dalam pemilu adalah wewenang partai politik. Partai politik merasa diuntungkan dengan banyaknya caleg yang ada karena dipastikan akan bekerja keras untuk mendapatkan suara bagi caleg yang bersangkutan dan tentunya untuk partai. Namun sayang, partai politik terkesan hanya memanfaatkan si caleg tanpa dibarengi dengan pemahaman yang jelas tentang apa maksud dan tujuan dari pencalegan ini. Bahwa, jabatan legislator adalah sebuah amanah dan pengabdian yang membutuhkan keikhlasan dalam berjuang.

Partai politik seharusnya juga memberikan pemahaman kepada caleg agar harus benar-benar rasional dalam mengeluarkan dana dan materi. Selain itu, parpol juga harus memberikan pemahaman terhadap peta politik kepada para calegnya, sehingga mereka bisa menghitung kalkulasi menang atau kalahnya dalam pemilu. Ini penting karena banyak caleg yang sama sekali tidak tahu menahu tentang peta politik dan prediksi terhadap parpol yang bersangkutan.

Namun apa mau dikata, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Karena ketidaktahuan dan kenekatan para caleg, kini mereka harus menderita karena beban yang mereka pikul terlampau berat. Untuk itu, kini saatnya partai politik ikut andil dalam membina kembali para caleg yang telah berjuang untuk partainya. Jangan hanya mengambil untung dari para caleg, namun disaat mereka membutuhkan bantuan, para pengurus parpol seakan tutup mata dengan keadaan ini.

Parpol harus memberikan dukungan dan bimbingan moral kepada para caleg yang gagal bahwa jabatan sebagai anggota legislative bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi. Masih banyak lahan untuk memberikan darma bhaktinya untuk ibu pertiwi ini.

Celakanya, penyesalan itu bermuara pada keputusasaan yang tidak dapat terkontrol, yang akhirnya melahirkan sakit jiwa. Maka, bagi segenap politisi, harus berfikir cerdas dan bersikap siap mental dalam berpolitik, dengan melakukan tindakan yang terukur dan rasional sesuai dengan kapabilitasnya, baik itu kapabilitas intelektual, material, maupun moral, etika dan nurani.

Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus diterima. Pemenangpun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalahpun, akan menjadi terhormat bila dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya dengan penuh mawas diri dan kerja keras. ***

Penulis adalah Mahasiswa, Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU
Dimuat di Harian Analisa 23 April 2009.
http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13027:bersikap-cerdas-dalam-menerima-kekalahan&catid=78:umum&Itemid=131

Senin, 20 April 2009

Nilai UN Sarat Kontradiktif Makna Pendidikan

Masyarakat membutuhkan pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup.

KEBIJAKAN pemerintah menaikkan Standar Nilai Kelulusan Ujian Nasional (UN) 2009 sebetulnya menuai protes dari berbagai pihak. Apalagi dengan menambah porsi mata pelajaran yang diujikan untuk tingkat SLTP dan SLTA serta melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional untuk tingkat SD. Namun dengan alasan peningkatan kualitas pendidikan, standarisias itu tetap dilaksanakan.

Setiap kita punya tujuan dan harapan ketika berada di sekolah. Ada yang bertujuan untuk memberikan kecakapan hidup (life skill), ada yang berharap agar kelak menjadi anak yang cerdas dan pintar. Cerdas dan pintar dalam artian memiliki ilmu pengetahuan, memiliki sikap yang baik serta memiliki keterampilan. Oleh sebab itu, ketika seorang anak menggeluti dunia pendidikan di sekolah, ia diharuskan belajar sejumlah ilmu pengetahuan, nilai-nilai serta ketrampilan. Dan oleh sebab itu, sentuhan dunia pendidikan di sekolah dan di luar sekolah, menyentuh tiga aspek atau domain, yakni pengetahuan (cognitif), sikap (afektif) dan ketrampilan yang sering kita sebut dengan psychomotoris.

Ketiga domain ini menjadi bagian dari tujuan pembelajaran. Apa yang ingin dicapai dari sebuah proses pembelajaran adalah terjadinya perubahan pada tiga ranah ini. Perubahan perilaku yang lebih baik setelah melalui proses belajar.

Banyak hal yang melatarbelakangi fenomena hal itu terjadi di Indonesia , ketika pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan makna pendidikan secara lebih luas. Sehingga sebuah metode pendidikan seperti itu dianut oleh masyarakat hingga kini , lalu untuk mengukur standarisasi seorang siswa adalah angka (nilai).

Banyak definisi pendidikan yang pernah kita dengar. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan makna terhadap pendidikan. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi peserta didik. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai erziehung yang setara dengan educare, yakni: membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi peserta didik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari beberapa definisi pendidikan , hal yang paling mengesankan, ketika salah seorang filsuf terkemuka yaitu Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah alat paling jitu untuk menggugah kesadaran kritis masyarakat tentang eksistensi dirinya sebagai manusia yang juga bagian dari sistem sosial. Oleh sebab itu, menurut Freire proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak bisa berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan itu diselenggarakan.

Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.

Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 /1989 sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur serta memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani.

Singkatnya,orientasinya adalah pada perubahan perilaku yang baik sebagai wujud manusia Indonesia yang utuh dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.

Dengan demikian pendidikan seharusnya merupakan proses penggalian dan pengembangan segenap potensi peserta didik sehingga mampu berkembang secara optimal. Proses ini diarahkan untuk memajukan budi pekerti, kecerdasan, bakat,minat serta jasmani peserta didik sehingga dapat mencapai kesempurnaan hidup.

Namun, apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita dewasa ini sehubungan dengan menguatnya politik evaluasi pendidikan yang dijalankan di lembaga pendidikan kita saat ini, artinya Undang – Undang tersebut juga sarat dengan makna dan filosofis pendidikan. Sedangkan standarisasi UN untuk mencapai kelulusan siswa sangat kontradiktif dengan makna dan filosofi pendidikan. Apa konsideran yang jelas mengenai standarisasi angka untuk kelulusan siswa?

Mengapa semua ini bisa terjadi ? Terkadang, rendahnya kualitas pendidikan selalu dikaitkan dengan angka. Sehingga, ‘angka’ menjadi sebuah standarisasi kelulusan siswa pada Ujian Nasional. Lalu apakah kepintaran dan kecerdasan siswa dalam dunia pendidikan hanya sebatas angka, angka, angka dan angka?
Dimuat di Harian Global 20 April 2009
http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=category&id=57:gagasan&layout=blog&Itemid=65

Minggu, 19 April 2009

KEINDAHAN DEMOKRASI



Hiruk pikuk pesta demokrasi telah mencapai antiklimaksnya. Ketika sejumlah lembaga survei menayangkan hasil quick countnya, ternyata dari sekian banyak partai hanya 9 partai berhak duduk di kursi legislatif. Mungkin hanya sebagian partai yang sukses, akan bertepuk tangan dan bertepuk dada. Sebaliknya sebagian yang hasilnya tidak memuaskan secara tidak jantan mulai menampilkan kambing hitam. Mulai dari tudingan kecurangan pemilu, masalah DPT, KPU tidak becus, pemerintah curang dan berbagai paranoid lainnya. Tampaknya hal ini adalah sebuah antiklimaksnya yang berpotensi mencederai sebuah demokrasi yang indah yang diharapkan tumbuh di Indonesia.


Dalam sebuah kompetisi demokrasi seperti perhelatan pemilu, kalah dan menang adalah hasil yang harus dihadapi. Sebagian kelompok partai yang sukses pasti sukacita menyikapinya. Sebaliknya tampaknya sebagian besar lagi yang lain akan berduka. Terutama yang perolehan suaranya turun dari pemilu sebelumnya atau partai yang tidak melampaui "electoral threshold".


Keindahan Demokrasi


Barack Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat secara luar biasa. Kandidat Demokrat itu menang telak atas rivalnya John McCain dari partai Republik. John McCain juga luar biasa. Dengan kepala tegak dan kebesaran hati seorang negarawan, dia langsung mengucapkan selamat kepada rivalnya. Dia bahkan menyatakan siap mendukung Obama sebagai Presiden AS. Pernyataan itu disampaikan di hadapan ribuan pendukungnya, kendati para pendukung ada yang mencemooh Obama. Sikap positif McCain sama dengan yang ditunjukkan Hillary Clinton ketika dikalahkan Obama saat bertarung untuk menjadi calon Presiden AS mewakili Partai Demokrat.


"Saya tahu bahwa kemenangannya merupakan kebanggaan bagi kaum Afrika-Amerika. Tapi kemenangannya juga merupakan pilihan rakyat AS. Di negara kita, kesempatan itu terbuka bagi semua orang, tak terkecuali senator Obama yang memiliki ide dan kemampuan. Kita semua orang Amerika. Buat saya, itu ikatan paling penting," ujar McCain berusaha menenangkan pendukungnya. "Biarkan dia memimpin kita. Seluruh warga Amerika harus saling bahu-membahu membantu untuk membawa Amerika kepada kesejahteraan, melindungi segenap bangsa," seru McCain disambut tepuk tangan meriah oleh para pendukungnya.


McCain bahkan mengatakan, nenek Obama Madelyn Dunham, yang meninggal dua hari sebelum pemilihan, pasti bangga dengan keberhasilan cucunya "Sayang dia tidak melihat. Dia pasti bangga dengan kemenangan ini," ujar McCain.

Di Indonesia Langka


Sikap patriotis dan kedewasaan berdemokrasi yang dilakukan McCain itu tampaknya langka dijumpai di Indonesia. Tampaknya sampai saat ini tidak banyak yang bersikap elegan seperti McCain. Banyak kasus menunjukkan seorang calon bupati atau gubernur kalah, bukan memberi selamat kepada pemenang. Tetapi selalu mencari celah untuk menggugat pemilu yang telah dilakukan.


Sebuah contoh besar bagi bangsa ini adalah Megawati sewaktu dikalahkan SBY. Jangankan mengucapkan selamat, sampai sekarang untuk bicara, bertemu muka atau bertegur sapa saja belum pernah. Contoh besar tadi banyak diteladani contoh kecil yang lain. Setelah kalah pemilu, bebagai calon gubernur, calon walikota yang kalah bukan memberi selamat kepada pemenang. Tetapi selalu mencari celah untuk menggugat pemilu yang telah dilakukan. Terdapat calon bupati atau gubernur yang kalah massanya melakukan perusakan kantor KPU atau demo ke DPR. Sementara calon bupati lainnya ada yang sampai sekarang sakit hati mempermasalahkan keabsahan ijazah lawannya yang sudah menang, dan masih banyak lagi contoh ketidak dewasaan, ketidak-eleganan yang belum mencerminkan sikap dewasa dalam berdemokrasi.


Pascapemilu legislatif tampaknya kedewasaan berdemokrasi pelaku politik di Indonesia mulai diuji. Bila dicermati sikap kaum yang kalah ini dapat dinilai kualitas kedewasaan berdemokrasi. Meskipun jarang tetapi harus diapresiasi beberapa politisi yang kalah dengan sportif memberi selamat kepada pemenang dan menyatakan dukungan dan mawas diri terhadap ketidak berhasilannya.


Adalah sesuatu yang manusiawi bila kecewa dalam sebuah kekalahan. Apalagi kekalahan itu melalui pertarungan dengan pengorbanan habis-habisan yang menguras harta dan seluruh hidupnya. Jangankan uang miliaran kadangkala harga diri sudah dikorbankan. Dengan pengorbanan yang demikian besar tersebut maka wajar kalau sikap "tidak siap kalah" akan dialami. Kalaupun sikap tidak elegan tersebut dilakukan, yang pasti tidak akan pernah menguntungkan. Sikap sakit hati dan ketidakdewasaan berpolitik ini akan menambah masalah baru. Lost cost akan bertambah dan memperburuk kredibilitas di mata masyarakat. McCain pun pasti telah mengorbankan jutaan dolar dan segalanya, tapi dengan jiwa demokrat dan tanpa tedeng aling-aling langsung mengucapkan selamat dan dukungan kepada Obama.


Tidaklah heran, saat ini bagi politisi yang tidak sukses sangat mudah untuk menyebutkan kekurangan pemilu. Begitu mudahnya mereka menyebutkan bahwa di kecamatan tertentu ratusan bahkan ribuan orang tidak terdaftar dalam DPT. Padahal faktanya belum tentu yang digembar-gemborkan. Apalagi beberapa kasus tersebut diembuskan lebih kuat lagi oleh berbagai media massa atau elektronik.


Tetapi bila berpikir jernih dan rasional sebenarnya berbagai permasalahan seperti kecurigaan kecurangan pemilu, masalah DPT, KPU tidak becus, dan berbagai paranoid lainnya itu sebenarnya dialami semua peserta pemilu. Atau dengan kata lain, hal itu bukan merupakan penyebab utama kekalahan partai tertentu. Kalaupun hal itu merugikan partai tertentu biasanya tidak terlalu signifikan.


Tetapi bila diduga terjadi kecurangan yang masif dan berat mungkin bisa saja diajukan dalam jalur hukum yang tersedia. Saksi dan partai politik dapat mengadukan melalui KPU kecamatan, kabupaten dan provinsi. Berbagai putusan tentang gugatan pemilu semuanya diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Sejatinya, setiap perkara yang memperkarakan keputusan yang dibuat oleh pejabat negara atau pihak yang melaksanakan urusan pemerintahan diselesaikan di PTUN. KPU selaku pejabat negara ketika mengeluarkan keputusan, maka memiliki peluang untuk digugat oleh individu atau badan hukum perdata. Hanya ada satu keputusan KPU yang tidak bisa digugat oleh melalui PTUN adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum . Artinya selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi objek perkara dalam PTUN. Bila hal ini masih belum dapat diselesaikan dapat diajukan pada Mahkamah Konstitusi.


Seyogianya sikap demokratis McCain harus mengilhami semua politisi di Indonesia. Demokrasi indah yang dipertontonkan negara demokrasi itu harus menjadi contoh setiap politisi dan masyarakat kita. Keberhasilan pemilu di Indonesia nantinya jangan dirusak oleh hujatan kepada KPU dari kaum yang tidak siap kalah. Ketidakberdayaan KPU dalam penyelenggaraaan pemilu yang sempurna adalah sebuah hal yang normatif dalam sebuah kerja yang sangat besar dan berat ini. Kekurangan yang terjadi pada pemilu ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi pemilu presiden berikutnya. Ketidakpuasan elite politik dan sikap gugatan yang berlebihan bagi pemilu akan berpotensi merambah ke masyarakat luas. Bila ini terjadi maka kerawan sosial dan keamanan dalam masyarakat menjadi taruhannya.


Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus diterima. Pemenang pun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalah pun, akan menjadi terhormat bila dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya dengan penuh mawas diri dan kerja keras.

Dimuat di Harian Global pada 16 April 2009

http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4989:keindahan-demokrasi&catid=57:gagasan&Itemid=65

Antara Simbol dan Semangat Kartini

Antara Simbol dan Semangat Kartini


Dari tahun ke tahun pendidikan berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu. Kebanyakan para murid dari golongan pria saja, sedangkan gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Saat itu karena situasi politik yang tak menentu dan ditambah pengaruh adat yang kuat, menjadikan wanita pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Wanita semata-mata hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Setelah melanjutkan sekolah rendah, mereka menjadi gadis-gadis pingitan dan dipersiapkan masuk jenjang berikutnya, yakni berumah tangga.
Di sinilah bangkit sosok R.A. Kartini yang ingin membebaskan kaum wanita atas keterbelakangan dengan kaum pria serta ingin memajukan pendidikan kaum wanita yang tadinya sangat memprihatinkan. Ia terpengaruh oleh para gadis asing yang berpikiran maju selain banyaknya membaca buku dan berkomunikasi dengan orang-orang besar dan berpendidikan. Seperti, Mr. J. H. Abendanon dan istrinya dari golongan etis; Van Kol, pemimpin partai Sosial Demokrat; N. Andrini; Lessy, dan lain-lain.
Kartini hendak mengubah adat lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum wanita. Ia awali dengan memperjuangkan kemajuan dan kedudukan wanita bangsawan, sebab para wanita golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan wanita bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan sekolah untuk para gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi di kemudian hari dapat memperbaiki kedudukan kaum wanita.
Cita-cita dan semangatnya tertuang dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya sejak umur 20 tahun (1899). Di antaranya adalah Mr. J. H. Abendanon dan istrinya.

Dalam surat-suratnya dijelaskan tentang pergaulan lingkungan, keadaan rakyat yang terbelakang, minimnya pendidikan dan pengajaran bagi para gadis. Kartini pun mengecam para pejabat Balanda yang tidak menaruh perhatian kepada rakyat banyak, melainkan hanya menaruh kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan pendidikan bagi orang bumiputra yang mereka anggap sangat membahayakan kedudukan pemerintah Belanda.

April adalah kelahiran Kartini, seorang perempuan asal Jepara. Kelahirannya dirayakan oleh hampir semua kaum perempuan Indonesia. Sosok semasa hidupnya dianggap membawa perubahan bagi kaum hawa Indonesia. Acara-acara yang berjenis “ke-wanita-an” pun tengah digelar, seperti lomba memasak, lomba tata rias wajah, lomba dandan, dan lain-lainnya. Lomba-lomba tersebut ada lingkup RT, RW, kelurahan, hingga kabupaten. Momentum ini sangat ditunggu-tunggu, paling tidak, oleh para pengusaha salon kecantikan dan masakan, karena dapat mendatangkan rizki yang berada di luar kebiasaan itu.


Bagaimana tidak, mereka kebanjiran pesanan untuk mendandani bagi pengusaha salon dan memasak untuk pengusaha masakan di sana-sini. Kegiatan ini tidak hanya didominasi oleh kaum perempuan dewasa (ibu-ibu dan nenek-nenek) dan kelas menengah ke atas saja, tetapi juga dinikmati oleh kalangan anak-anak/remaja yang duduk di bangku TK, SD, SMP, dan SMA. Dan bagi kalangan akademis pun tidak ketinggalan, mereka mengadakan kegiatan dan kajian seperti seminar, diskusi, simposium, dan lain-lainnya yang bertemakan perempuan.
Harus diakui bahwa macam-macam kegiatan seperti yang telah disebutkan di atas kita respon dengan positif, paling tidak masyarakat perempuan Indonesia ternyata masih mengingat dan menghargai peran seorang Kartini. Hanya saja patut pula kita apresiasi dengan sebuah kritik yang bersifat membangun, di antaranya dengan sebuah pertanyaan apakah kaum perempuan saat ini merayakan Hari Kartini dengan hanya sebatas seremonial belaka ataukah dibarengi dengan upaya mengaktualisasikan spirit dan nilai-nilai yang dicita–citakan oleh Raden Ajeng Kartini itu? Penulis sedikit khawatir, jangan-jangan kita hanya terjebak pada acara rutinitas tahunan belaka, sehingga melupakan makna substansi di balik simbolisme Kartini.
Penulis memang harus menyadari, bahwa masyarakat kita yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah dan orang-orang yang tidak biasa dengan lingkungan akademis tak tahu menahu apa makna spirit adanya peringatan kelahiran Kartini ini. Hal itu disebabkan oleh kesalahan sejarah penguasa yang tidak pernah menekankan pada tataran spiritnya, tetapi lebih pada hal-hal simbolis saja seperti lomba tata rias, cara berpakaian, dan masak-memasak.

Sejarah Kartini
Tak bisa dielakan, mengerti akan sejarah riwayat hidup Kartini harus segera ditanamkan pada generasi perempuan Indonesia. Hal ini sangat penting karena dari sejarah riwayat hidupnya kita dapat mengetahui spirit Kartini untuk diterapkan pada masa kini. Nah, dalam tulisan ini penulis hendak memberikan beberapa spirit dari Kartini yang dapat kita ambil dari sejarahnya.
Pertama, perjuangan Kartini sesungguhnya berpusat pada keinginan wanita untuk disetarakan dengan kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan diharapkan maju, berdaya, dan berwawasan luas, serta mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki.


Hal itu tercermin pada surat-surat yang dikirim pada para sahabatnya baik laki-laki maupun perempuan yang ada di Belanda, seperti Ny Ovink Soer, Stella, Prof dr GK Anton, Dr N Andriani, Ny HG de Booy-Boisevain, Ir HH van Kol , Ny N van Kol, Ny RM Abendanon-Mandri, Mr JH Abendanon, serta EC Abendanon. Dalam surat-suratnya begitu gamblang ia membela kaum perempuan dari segala sesuatu yang menurutnya tidak memihak dan tidak ada keadilan pada para perempuan. Di antaranya ia mempertanyakan ajaran-ajaran keagamaan yang memosisikan kaumnya di posisi kedua, dan kritik pedas atas kementrian Belanda perihal sistem pendidikan dan keadaan sosial politik di negeri jajahan Belanda untuk tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Kedua, betapapun ia kritis atas realitas yang kurang memihak pada perempuan, namun Kartini tetap berpegang teguh pada kodratnya sebagai wanita. Hal itu kita dapatkan dari perannya sebagai seorang istri yang setia dan mengurus rumah tangga dengan baik. Ia sangat mengerti hak dan kewajibannya sebagai perempuan dan istri dalam rumah tangganya. Tidak seperti halnya ideologi feminisme yang sering kita dengar saat ini, seperti feminisme marxis, feminisme liberal hingga feminisme postmodernis, kebanyakan di antara mereka melupakan kodratnya sebagai wanita. Aliran-aliran feminisme tersebut sangat tidak sejalan dengan feminisme “ala” Kartini.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sangat nampak fenomena feminisme yang berkiblat pada barat seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Adapun gejala-gejalanya dapat kita lihat dari beberapa hal.
Pertama, adanya keinginan besar dari kalangan aktivis perempuan untuk melepaskan diri dari dominasi kaum laki-laki, di mana salah satunya adalah keengganannya untuk menikah. Menikah bagi penganut ideologi ini dianggap sebagai perangkap laki-laki untuk mendominasi perempuan. Dalam institusi ini, bagi mereka, perempuan tak bisa berkutik untuk mengekspresikan dirinya, malahan yang ada adalah keterjebakan dalam aktivitas-aktivitas yang hanya menguntungkan pihak laki-laki. Alasan lainnya, karena mereka pun tak mau mengurus anak-anak, yang membuat mereka merasa terpenjara.
Harus dimafhumi jika mereka bersikap demikian, lantaran kiblat mereka adalah negara-negara maju yang memang fenomena seperti itu sudah lumrah dan menjadi gaya hidupnya (life style). Di samping itu, mereka pun hanya melihat pada beberapa kasus yang sarat dengan budaya patriarkhi dalam institusi perkawinan yang dilakukan oleh segelintir orang, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap pernikahan.
Kedua, berkarir adalah salah satu jalan untuk memerdekakan diri dari “cengkraman” laki-laki. Kaum feminis perempuan menyibukkan diri pada profesinya dalam semua bidang, karena menganggap dirinya sama dan sederajat dengan kaum laki-laki. Mereka menginginkan jabatan yang tinggi agar mereka pun dapat berkuasa seperti halnya laki-laki. Dengan itu mereka pun mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu sebuah kebebasan.
Kedua hal di atas menjadi trend yang lambat laun telah mengalami peningkatan di beberapa kota besar di Indonesia. Bagi mereka, jika menikah hanya untuk mendapatkan keturunan secara sah, maka hal itu juga dapat dilakukan dengan cara lain yang legal juga. Memang, harus diakui, bahwa ilmu kedokteran telah memberikan peluang bahwa seorang perempuan bisa mempunyai anak atau keturunan tanpa melalui proses kehamilan dan melahirkan. Yakni pembuahan sel telur oleh sperma dilakukan di luar saluran telur seperti pada umumnya, dan jika perlu mereka bisa menyewa rahim orang lain sebagai tempat benih calon anaknya tersebut. Kemajuan ini ternyata dimanfaatkan oleh kalangan feminis yang berpandangan bahwa menikah dan melahirkan bukan merupakan suatu keniscayaan.
Sungguh, femonena di atas menurut penulis adalah sebuah perilaku feminisme kebablasan, yang jauh dari kodrat wanita sesungguhnya. Terkait dengan konteks feminisme Kartini, feminisme “ala” Barat itu tidak sama dengan feminisme yang diusung Kartini. Kartini sama sekali tidak mencabut jati dirinya sebagai perempuan. Akar kewanitaannya tetap teguh meski mengusung feminisme.
Nah, tampaknya feminisme Kartini masih relevan dengan konteks kekinian. Dengan memahami sejarahnya akhirnya kita dapat mengambil spirit hidupnya untuk kita terapkan pada masa kini sesuai dengan konteks masing-masing. Di sinilah kita dapat menjembatani peringatan Hari Kartini antara antara simbolisme dan spiritisme.

Kisah Sedih Para Calon Legislator Tidak Terpilih

Kisah Sedih Para Calon Legislator Tidak Terpilih

Prosesi pesta rakyat khususnya pemilu legislatif telah usai pada tanggal 9 April lalu, namun hal tersebut menciptakan persaingan keras bagi calon legislatif baik di internal dan eksternal partai politik. Sebab sebanyak 11.215 caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112.000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota, (www.kpu.go.id). Namun pada Pemilu legislatif 2009 terdapat banyak kisah cerita calon anggota legislatif (caleg) yang tidak menunjukkan perolehan suara signifikan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Ada yang unik, lucu, bahkan menyedihkan. Di antara mereka malah ada yang memilih jalan pintas, bunuh diri karena malu perolehan suaranya jauh di bawah estimasi semula.
Kecewa memang bisa dimaklumi, tapi kalau harus mengakhiri hidup, itu sudah di luar akal sehat. Seperti yang dilakukan Sri Hayati, calon anggota legislatif Kota Banjar, Jawa Barat, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nomor urut 8 itu ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah. Berdasarkan hasil penghitungan sementara perolehan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjar hingga Selasa, 14 April siang, Sri hanya mendapat tidak lebih dari 10 suara di daerah pemilihan Banjar I yang meliputi Kecamatan Banjar dan Purwaharja.
Hingga saat ini sudah tak terhitung lagi kasus caleg mengalami depresi karena terciumnya kekalahan dari sebuah ambisi tak berbatas. Tingkah laku mereka bermacam-macam. Ada yang linglung, ada yang mengamuk, meminta kembali sarung bantuannya, atau meminta tim sukses mengembalikan biaya selama kampanye, mengusir penduduk yang menempati tanahnya karena kebetulan dia adalah tuan tanah.
Pertarungan senantiasa menghasilkan dua kemungkinan; kalah dan menang. Sehingga menjadi tak elok bila setelah pesta demokrasi lima tahunan itu digelar, para pesertanya malah tidak siap pada dua kemungkinan itu. Pendirian klasik kerap ditemui, hanya siap menang tapi tak siap kalah. Biaya tinggi selama sosialisasi dan kampanye selalu menjadi alasan mengapa seseorang tidak siap kalah. Padahal baiaya-biaya itu adalah harga yang harus dikorbankan.
Namun, sebagian kecil saja di antara mereka yang menganggapnya lumrah. Biaya besar tersebut apapun alasannya harus kembali, atau paling tidak mendatangkan kemenangan, sementara biaya besar tidaklah berbanding lurus dengan kemenangan.
Saat ini perhitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berlangsung. Meski sudah ada kepastian kemenangan partai versi lembaga penghitung cepat, versi KPU tetap saja dinanti, karena versi inilah menjadi dasar resmi satu-satunya dari seluruh keputusan menang-kalah itu. Di tangan KPU dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), para petarung menggantungkan nasib. Pasalnya, bila panitia melakukan kesalahan penghitungan, disengaja atau tidak, maka seorang caleg akan bernasib lain.
Hari-hari menegangkan sesungguhnya terjadi bukan pada saat kampanye, melainkan beberapa hari setelah pemberian suara oleh rakyat. Karena itu, bila hingga hari ini kita masih menemukan atau mendengar tingkah laku aneh para caleg, maka hal itu menjadi lumrah. Sebab, hari-hari itu merupakan hari-hari yang panjang dan melelahkan.
Terasa panjang karena menanti sebuah kepastian yang justru mengaduk-aduk perasaan; cukup atau tidak perolehan suara partainya untuk harga sebuah kursi. Kalaupun cukup, apakah kursi itu untuk dia atau justru buat kader lain separtai.
Tulisan ini bukan bermaksud under estimated terhadap para calon legislatif yang tidak meraih pada pemilu legislatif 2009 kali ini. Tetapi lebih mengajak bagaimana caranya untuk membangun cara berfikir dan memiliki sikap yang cerdas dalam menerima kekalahan , serta peran partai politik dalam membangkitkan semangat caleg yang tidak terpilih.
Bersikap Positif
Pola berfikir yang harus dibangun yaitu menganggap seluruh biaya yang dikeluarkan selama bertarung memperebutkan kursi legislatif sebagai sedekah kepada masyarakat. Apa yang telah diberikan kepada masyarakat jangan dianggap sebagai nilai yang harus dibayar masyarakat dengan suara di hari pemilihan umum. Berfikir seperti itu , para caleg yang tidak terpilih secara tidak langsung adalah orang yang mengabdikan diri kepada Negara dan masyarakat. Sebab tidak terpilihnya para caleg yang telah berjuang pada pemilu legislatif kali ini, bukan berarti ‘kalah’ dalam segalanya. Hal yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap siap kalah secara berani. Sebab hal tersebut dapat membangun kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik hanya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tertanam motivasi dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi.
Calon anggota legislatif bisa mendapatkan nomor urut karena direkut oleh partai politik. Beberapa alasan partai politik melirik caleg yang bersangkutan karena memiliki kapasitas, kualitas bahkan karena popularitas. Namun, beberapa caleg memberanikan diri untuk mendaftar ke partai politik dengan berbagai alasan, diantaranya ikut merubah nasib bangsa, hanya sekedar coba-coba sampai hanya untuk memenuhi kuota tertentu.
Untuk itu, kini saatnya partai politik ikut andil dalam membina kembali para celeg yang telah berjuang untuk partainya. Jangan hanya mengambil untung dari para caleg, namun disaat mereka membutuhkan bantuan, para pengurus parpol seakan tutup mata dengan keadaan ini. Parpol harus memberikan dukungan dan bimbingan moral kepada para caleg yang gagal bahwa jabatan sebagai anggota legislative bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi. Masih banyak lahan untuk memberikan darma bhaktinya untuk ibu pertiwi ini.

Kamis, 16 April 2009

Pasca Pemilu Legislatif 2009

Bersikap Positif Menerima Kekalahan Pada Pemilu Legislatif 2009.

Prosesi pesta rakyat khususnya pemilu legislatif telah usai pada tanggal 9 April lalu, namun hal tersebut menciptakan persaingan keras bagi calon legislatif baik di internal dan eksternal partai politik. Sebab sebanyak 11.215 caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112.000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota, (www.kpu.go.id). Hal yang paling pasti dalam persaingan itu adalah ada yang terpilih menjadi wakil rakyat, dan ada pula yang tidak. Untuk para politisi yang berhasil meraup suara rakyat dari Bilangan Pembagi Pemilih, adalah melaksanakan janji – janjinya ketika ia berkampanye. Lalu untuk calon legislatif yang tidak terpilih , apakah pernyataan siap menang dan siap kalah itu bisa diterima dan dipertanggung jawabkan? Menerima kemenangan lebih mudah daripada menerima kekalahan. Semoga semua caleg yang bertarung jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kekalahan. Tidak sebaliknya, jauh-jauh harus sudah berangan-angan menjadi anggota legislatif. Menjadi seorang wakil rakyat harus berdasarkan keinginan untuk mengabdikan diri kepada negara , bukan didasari oleh kekuasaan dan harta semata. Sebab, sejumlah kekecewaan itu dialami para caleg ambisius yang gagal menggapai kursi anggota legislatif. Yang tidak bisa menerima kekalahan sebagai suatu kewajaran dalam pertarungan yang selalu ada menang dan kalah. Tidak sanggup menerima kekalahan akan sangat memengaruhi mental dan dapat mengguncang kejiwaan. Dikhawatirkan, rumah sakit jiwa menjadi rumah baru bagi para caleg yang kalah itu. Sebab hal yang paling memilukan dihati saya adalah kemarin ketika membaca di beberapa media massa yang memberi kabar seorang calon legislator yang berasal dari Kota Banjar nekat gantung diri, dikarenakan tidak lolos.Tulisan ini bukan bermaksud under estimated terhadap para calon legislatif yang tidak terpilih pada pemilu legislatif 2009 kali ini. Tetapi lebih mengajak bagaimana caranya untuk membangun cara berfikir dan memiliki sikap yang cerdas dalam menerima kekalahan , serta peran partai politik dalam membangkitkan semangat caleg yang tidak terpilih. Pola berfikir yang harus dibangun yaitu menganggap seluruh biaya yang dikeluarkan selama bertarung memperebutkan kursi legislatif sebagai sedekah kepada masyarakat. Apa yang telah diberikan kepada masyarakat jangan dianggap sebagai nilai yang harus dibayar masyarakat dengan suara di hari pemilihan umum. Berfikir seperti itu , para caleg yang tidak terpilih secara tidak langsung adalah orang yang mengabdikan diri kepada Negara dan masyarakat. Sebab tidak terpilihnya para caleg yang telah berjuang pada pemilu legislatif kali ini, bukan berarti ‘kalah’ dalam segalanya. Hal yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap siap kalah secara berani. Sebab hal tersebut dapat membangun kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik hanya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tertanam motivasi dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. Apalagi misalnya, persaingan yang berujung pada kekalahan itu telah menelan materi yang tidak sedikit, hingga rumah digadai dan mobil dijual.

Peran Keluarga

Mengutip pernyataan Ketua Forum Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (FJKKJ) dr G Pandu Setiawan, SpKJ (KOMPAS 09 April 2009) Anggota keluarga juga memiliki peran dengan menghibur dan menasihati kepada caleg yang gagal terpilih pada Pemilu, 9 April 2009, sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang bersangkutan.

sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi.

Tanggung Jawab Partai Politik
Calon anggota legislatif bisa mendapatkan nomor urut karena direkut oleh partai politik. Beberapa alasan partai politik melirik caleg yang bersangkutan karena memiliki kapasitas, kualitas bahkan karena popularitas. Namun, beberapa caleg memberanikan diri untuk mendaftar ke partai politik dengan berbagai alasan, diantaranya ikut merubah nasib bangsa, hanya sekedar coba-coba sampai hanya untuk memenuhi kuota tertentu.
Lolos tidaknya caleg bisa ikut dalam pemilu adalah wewenang partai politik. Partai politik merasa diuntungkan dengan banyaknya caleg yang ada karena dipastikan akan bekerja keras untuk mendapatkan suara bagi caleg yang bersangkutan dan tentunya untuk partai. Namun sayang, partai politik terkesan hanya memanfaatkan si caleg tanpa diberangi dengan pemahaman yang jelas tentang apa maksud dan tujuan dari pencalegan ini. Bahwa, jabatan legislator adalah sebuah amanah dan pengabdian yang membutuhkan keiklasan dalam berjuang.
Partai politik seharusnya juga memberikan pemahaman kepada caleg agar harus benar-benar rasional dalam mengeluarkan dana dan meteri. Selain itu, parpol juga harus memberikan pemahaman terhadap peta politik kepada para celegnya, sehingga mereka bias menghitung kalkulasi menang atau kalahnya dalam pemilu. Ini penting karena banyak caleg yang sama sakali tidak tahu menahu tentang peta politik dan prediksi terhadap parpol yang bersangkutan.
Namun apa mau dikata, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Karena ketidaktahuan dan kenekatan para caleg, kini mereka harus menderita karena beban yang mereka pikul terlampau berat. Untuk itu, kini saatnya partai politik ikut andil dama membina kembali para celeg yang telah berjuang untuk partainya. Jangan hanya mengambil untung dari para caleg, namun disaat mereka membutuhkan bantuan, para pengurus parpol seakan tutup mata dengan keadaan ini.
Parpol harus memberikan dukungan dan bimbingan moral kepada para caleg yang gagal bahwa jabatan sebagai anggota legislative bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi. Masih banyak lahan untuk memberikan darma bhaktinya untuk ibu pertiwi ini.

Celakanya, penyesalan itu bermuara pada keputusasaan yang tidak dapat terkontrol, yang akhirnya melahirkan sakit jiwa. Maka, bagi segenap politisi, harus berfikir cerdas dan bersikap siap mental dalam berpolitik, dengan melakukan tindakan yang terukur dan rasional sesuai dengan kapabilitasnya, baik itu kapabilitas intelektual, material, maupun moral, etika dan nurani. Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus diterima. Pemenangpun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalahpun, akan menjadi terhormat bila dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya dengan penuh mawas diri dan kerja keras.


Senin, 13 April 2009

Meredam Konflik Pasca Pemilu Legislatif 2009


Pemilu legislatif telah diselenggarakan pada tanggal 9 April 2009. Suhu perpolitikan pun kian memanas, seiring dengan persaingan di antara para calon legislatif. Lobi–lobi politik pun cukup intens dilakukan oleh para calon presiden yang akan bertarung dalam pada pilpres mendatang.
Ketatnya persaingan antarcalon legislatif, disinyalir menjadi salah satu pemicu konflik dalam Pemilu. Kondisi ini jelas memacu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga harus bekerja ekstra keras untuk bisa mewaspadai sejak dini kemungkinan terjadinya konflik selama pelaksanaan Pemilu.
Konflik tersebut muncul, apabila terdapat perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat untuk memperebutkan kekuasaan.
Konflik kekerasan merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omni-presence) dalam setiap pandangan dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat dalam partai politik yang telah menjadi hal sangat alamiah dan sulit sekali untuk dihindarkan. Akan tetapi, hal itu akan menjadi persoalan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis.
Kekerasan, atau apapun namanya, tidak akan bernilai positif. Bahkan sebaliknya, kekerasan hanya akan menarik dan memunculkan persoalan baru atau kekerasan lebih besar. Kekerasan hanya mewariskan penderitaan dan kesengsaraan bagi korbannya. Peradaban bangsa Indonesia ini akan semakin terpuruk jika budaya kekerasan terus disemaikan.
Benturan kepentingan dan perbedaan ideologi, baik yang bersifat horizontal antara kelompok partai yang satu dengan partai lainnya dari para pendukung calon legislatif masing-masing serta masyarakat dengan panitia KPU pun bisa menyebabkan konflik, bila pada tingkat KPUD, yang tidak bersifat netral terutama saat penghitungan suara. Karena bagaimanapun, dalam kondisi tersebut banyak terjadi kecurangan politik. Yang sudah seharusnya bisa direduksi oleh setiap panitia pengawas Pemilu 2009. Ada beberapa cara untuk mencegah yang harus dilakukan oleh KPU Pusat, Panwaslu dan KPUD jika nantinya terjadi konflik pasca Pemilu legislatif 2009. Pertama, perlu dilakukan koalisi pemerintah pusat dan daerah yang stabil di antara partai-partai politik.
Kedua, perlunya penerapan prinsip proporsionalitas. Menurut prinsip ini, posisi-posisi pemerintahan daerah yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik, sesuai dengan proporsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
Ketiga, diterapkannnya sistem saling veto. Yakni sebuah siswam di mana keputusan politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik yang berkonflik.
Kekerasan sebagai letupan kristalisasi atas ketidakpuasan massa terhadap perbedaan, politik haruslah bisa diredam dan disikapi dengan kepala dingin serta mengedepankan nalar yang kritis secara arif dan bijaksana dalam memandang sebuah persoalan politik. Bukan lantas mengusung egoisme serta anarkisme secara brutal dalam menyelesaikan masalah sosial-politik.

Menjadi Pemilih Pemula Cerdas Menuju Pemilu Berkualitas

Pemilu sudah di depan mata, berbagai kalangan dan partai politik sudah siap-siap memperebutkan suara kita. Sebagai pemilih yang cerdas ini merupakan penyadaran, terutama bagi pemilih pemula untuk menggunakan potensi akalnya secara sadar memutuskan suatu pilihan. Ini dapat menekan kegamangan kepada kita caleg mana yang pantas dipilih dari sekian ribu foto mereka yang bertebaran di seluruh penjuru mata angin, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga caleg tingkat pusat.

Untuk itu penting untuk memperkuat kualitas pemilu 2009, sehingga rakyat tidak seperti membeli “kucing dalam karung”. Di sinilah perlu kecerdasan, terutama pemilih pemula di tengah isu kampanye, dengan menabur kata yang selangit namun tak konkrit. Atau tampang-tampang yang memukau di baliho, namun belum tentu sesuai yang aslinya.

Jika kita kaji selintas , ada 34 partai politik yang berhasil lolos menjadi peserta dalam pemilu 2009 ini, 16 di antaranya partai lama, dan 18 partai baru. Ketika hendak menggunakan hak kita untuk memilih salah satu dari mereka yang ada, sebaiknya jangan terburu-buru mengambil keputusan. Harus benar-benar kita pahami isi partai yang akan dipilih. Bagaimana program dan prinsipnya, orang-orang yang ada di dalamnya, dan kerja nyata partai yang bersangkutan “di” maupun “untuk” masyarakat, sejak partai itu didirikan. Partai politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Alat, sebaik apapun dia, bergantung pada pengguna dan daya dukung yang memungkinkannya bekerja dengan baik. Tanpa itu, alat, termasuk partai politik, tak lebih dari seonggok barang yang hanya layak berada di tempat sampah. Alat dan tujuan, adalah dua hal yang tak terpisahkan. Entah untuk tujuan baik atau buruk, tetap memerlukan alat untuk mencapainya. Sebagai pemilih cerdas kita harus mengetahui track record caleg, partai dan lainnya sebelum memutuskan untuk memilih. Pemilih juga harus menghukum wakilnya yang telah gagal memegang kepercayaan, dengan tidak lagi memilihnya, bukan berarti harus golput. Golput bukan solusi sebab hanya akan memberi peluang bagi politisi busuk. Pertanyaanya adalah bagaimana kita sebagai pemilih pemula yang relatif belum bisa mengenali partai dan calon wakil rakyat yang benar-benar hendak memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa pandang bulu.

Berikut adalah langkah yang harus dilakukan agar kita menjadi pemilih pemula yang cerdas,

Pertama, mampu membuang jauh-jauh ilusi berbagai klaim yang dikampanyekan partai politik. Artinya, jangan langsung mempercayai partai-partai yang mengaku sebagai kaum demokrat, mampu berkarya, menjunjung tinggi hati nurani, membela wong cilik, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, mengemban amanat nasional, berjiwa pembaharu, menjunjung kebangsaan, persatuan dan sebagainya.

Kedua, bisa mengenali dengan jernih partai-partai yang hanya bekerja atau mendekati rakyat pada saat menjelang pemilu. Artinya, jangan mempercayai, apalagi memberi dukungan pada partai-partai yang tiba-tiba akomodatif terhadap kebutuhan rakyat. Contoh, partai atau individu-individu dari partai tertentu yang mengobral janji dan sumbangan perbaikan jalan serta sarana umum lainnya saat menjelang pemilu. Atau partai politik yang menyuap pemilih agar memilih partainya. Jangan pernah mempercayai partai politik seperti itu, sampai kapan pun.

Ketiga, memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk politik, partai politik, konstitusi, parlemen dan ketatanegaraan Indonesia yang mencukupi. Tanpa pengetahuan itu, memilih partai politik dalam pemilu sama dengan membeli barang yang tak jelas juntrungannya. Bukan keuntungan yang kita dapat, tetapi kerugian.

Keempat, Riset dan selidiki track record caleg pilihan Anda. Cek di internet, apa saja yang sudah ia katakan, lakukan, latar belakang pribadi, pendidikan, prestasinya, atau afiliasi kelompok atau politiknya. Kalau sudah terkenal biasanya ia punya website/blog pribadi, sehingga kita akan mudah mendapatkan data dan informasi yang cukup tentang caleg itu.

Kelima, Tapi kalau ia tidak pernah atau jarang bersentuhan dengan dunia media, baik

cetak, elektronik, maupun internet, lakukan secara offline. Memang butuh waktu ekstra, misalnya dengan bertanya2 kepada tetangga yang tinggal di sekitar rumahnya, teman-temen sekolahnya, koleganya, atau bahkan pesaing-pesaingnya.

Keenam, Kalau ada kesempatan, ajak si caleg berdiskusi secara langsung. Mulailah dari tema-tema yang menjadi concern-nya (Dapat kita lihat dari poster, spanduk, dan atribut kampanyenya yang lain—yang seringkali hanya slogan tanpa konsep), hingga berkaitan dengan isu-isu yang menjadi kepentingan bangsa. Misalnya, soal perekonomian dan kesejahteraan umat, harga BBM dan lain-lain.

Ketujuh, Pastikan juga dalam proses di atas, apakah ia orang yang FAST (fathanah, amanah, shiddiq, tabligh), atau tidak, dan lain-lain. Gagasan dari caleg yang layak pilih adalah gagasan yang rasional dan mencerdaskan, mendewasakan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah cukup yakin dengan pilihan Anda, lebih jauh lakukan “kontrak politik” dengan caleg pilihan Anda. Buat komitmen permanen, untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Bentuknya bisa berbentuk lisan maupun tertulis, bersama-sama atau sendiri. Isinya bisa apa saja, apakah berupa janji kalau ia terpilih menjadi wakil rakyat, ia akan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan umat atau rakyat dan lain–lain.

Meski telah memasuki massa tenang sedang berlangsung, tidak ada kata terlambat untuk mencari tahu. Kini pemilu semakin tinggal menunggu hitungan menit. Kampanye janji-janji sebentar lagi akan digelar. Sebagai pemilih cerdas, tidak perlu menghabiskan tenaga dan pikiran karena bingung akan memilih partai yang mana. Cukup kita jalani ketujuh tips diatas.