Related Websites

Minggu, 17 Mei 2009

Manuver dan Konspirasi Panoptikan


Sebuah ironi membungkam karir dan nama baik seorang Antasari Azhar, tokoh pemberantas kejahatan keuangan negara ini justru terhempas oleh isu kurang sedap, akibat terlibat asmara dengan caddy cantik dan berujung maut pada direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Pasal 340 KUHP telah dijadikan kepolisian untuk mengirim Antasari ke balik jeruji besi. Sesuai pasal 32 angka 1 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, besar kemungkinan Antasari Ashar akan diberhentikan selamanya daripada sekadar diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana kejahatan.

Kasus Antasari telah "membajak" kasus-kasus yang lain dalam pemberitaan, bukan saja karena yang bersangkutan adalah Ketua KPK (sekarang diberhentikan sementara), tapi juga karena di antara sekian dugaan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Nasrudin, motif "cinta segitiga" antara Nasruddin, Rhani dan Antasari telah menjadi dugaan yang paling mengemuka. Rani Juliani si mantan caddy yang tadinya nobody, tiba-tiba menjadi somebody!

Pemberitaan telah terkonstruksi pada masalah asmara, bukan tereksplorasi pada berbagai kemungkinan. Aspek ini memang paling mudah menarik perhatian bukan saja karena dugaan ini "seksi," tapi juga karena kekuasaan, uang dan perempuan dianggap three-in-one.

Benar atau tidaknya tuduhan asmara terhadap Antasari menjadi hal yang kesekian, dugaan ini telah menjadi bola panas di berbagai media.

Munculnya kasus Antasari-pun menjadi plus-plus. Sejumlah anggota DPR mempertanyakan keabsahan keputusan KPK minus Antasari, meminta KPK tidak melakukan apa-apa, kental nafsu kebirinya, padahal kepemimpinan KPK bersifat kolektif-kolegial. Memang banyak yang tak nyaman dengan Antasari, tak kurang yang "membonceng" ketika kasusnya merebak, sehingga bukan hanya kedinya yang plus-plus, tapi juga spekulasi terkait kasus tersebut.

Adanya kasus Antasari Azhar yang ada saat ini, seperti ada hipokrisi di sebuah lembaga yang menyandang nama baik di negeri ini. Bahkan, pameo (Nasihat klasik) bahaya tiga “Ta” harta , tahta , dan wanita seakan menjadi realitas.

Jika kita melihat pada sejarah romantika kekuasaan di kerajaan Romawi, Julius Caesar harus tunduk pada kemolekan Cleopatra tanpa perlu memperhitungkan akal sehatnya. Kekuasaan tampaknya sangat dekat dengan konspirasi. Apalagi , untuk sebuah lembaga yang menjadi musuh besar bagi para koruptor.

Panoptisisme

Jika kita membuka cakrawala berpikir, seperti ada gelisah dan khawatirnya dengan kemungkinan ketua KPK itu menjadi korban semacam konspirasi orang-orang yang menaruh dendam kesumat terhadapnya atau orang – orang yang kedoknya akan terbuka oleh institusi ini. Itu akibat banyak tokoh dan pejabat terkemuka yang dikirim ke penjara oleh KPK karena korupsi. Jika berlandaskan dengan hal tersebut, hal ini memungkinkan adanya manuver panoptikan.

Hal ini merupakan sebuah istilah yang digagas oleh Michael Foucault dalam karyanya, Discipline and Punishment. Foucault menyebut panopticism sebagai bentuk pengendalian dan pengawasan yang menekankan pada gerak individu didalam sebuah ruang dan senantiasa ada, tanpa diketahui orang yang sedang diawasi. Tujuannya adalah menghancurkan elemen yang dianggap berbahaya. Panoptikan dapat menjadi sesuatu yang disadari maupun tidak oleh warga kotanya.

Kehadiran panoptikan pun membentang dalam rentang waktu yang tidak terbatas, namun mengambil bentuk yang berbeda.

Apabila panoptikan itu diterapkan dalam ruang politik, manuver tersebut merupakan bentuk pengendalian ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan oleh agen-agen sosial untuk menciptakan kepentingan – kepentingan tertentu. Pengawasan tersebut dilakukan dalam dua strategi yaitu pengisolasian individu dalam ruang, dan mengusir orang yang tidak diperkenankan untuk berada di dalam sebuah ruang.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membeberkan gagasan Foucault, melainkan kaitannya mengenai kasus Antasari Azhar yang diduga menjadi dalang dibalik kejadian semua ini, secara menarik hal yang digagasnya, yaitu mengenai panopticism (panoptikan). Maka manuver panoptikan ini sangat berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh ketua KPK saat ini. Dimana Antasari Azhar telah dikendalikan dengan menggunakan kedua strategi tersebut. Tentu saja ini merupakan konspirasi grand scenario besar bagi orang yang menaruh dendam kesumat atau orang yang takut kejahatannya akan terbongkar dan ini dilakukan juga untuk memojokkan institusi pembasmi koruptor.

Karena mereka dianggap berbahaya, dan harus disingkirkan. Tentu saja, penyebab ini juga menjadi salah satu faktor, terciptanya konspirasi tersebut.

Manuver itu mengakibatkan tiga hal, pertama adalah terbentuknya opini bahwa lembaga pemberantas korupsi yang superbody saja tercoreng mukanya oleh perilaku orang dalam sendiri yang tidak bersih dari praktik-praktik berbau moral, maka tidak ada lagi institusi penyidik yang bisa diharapkan segera menghabisi koruptor.

Ini mirip kasus penangkapan anggota Komisi Yudisial (KY) Irawadi Joenoes oleh KPK. Mantan jaksa itu kemudian divonis 8 tahun penjara karena terbukti menerima suap. Irawadi jelas tidak ''jatuh'' sendirian, tetapi secara citra lembaganya ikut tercoreng. KY seolah meredup pamornya setelah itu. Padahal, dalam sidang pengadilan, KY secara institusional tak terbukti terlibat.

Kedua, akan ada kasus korupsi yang tidak akan terselesaikan atau menggantung , sebab dengan berkurangnya satu orang, sangat mungkin terjadi kedudukan berimbang dalam voting. Jika demikian yang terjadi, akan sangat sedikit perkara yang bisa diputus KPK dan itu sangat mungkin terjadi. Hal itulah yang dikhawatirkan banyak pihak.

Ketiga, ini merupakan hikmah berharga bagi untuk para pemimpin dan calon pemimpin, sebab konspirasi busuk sangat dekat dengan kekuasaan.

Keempat, kinerja KPK yang melambat atau berjalan pelan akan mematikan spirit dan antusiasme masyarakat untuk bahu-membahu melawan korupsi. Itu berbahaya dan semakin menjauhkan negeri ini dari mimpi kesejahteraan, reformasi birokrasi, dan sebagainya. Atau, ini merupakan bagian dari skenario para koruptor untuk mematikan KPK? Atau, pihak lain yang menghendaki Indonesia tetap menjadi bagian dari rantai kemiskinan? Siapa tahu ?

Namun, jika Antasari kelak terbukti dan menjadi terdakwa yang harus diketahui adalah Antasari hanya individu bukanlah institusi pemberantasan korupsi, jadi kelakuan salah seorang penyidik di KPK itu memang tidak bisa dianggap representasi semua perilaku orang dalam KPK. Sebab opini buruk yang terlanjur berkembang luas jika tidak segera dapat dihapus akan menjadi tamparan memalukan bagi reputasi, citra, dan kredibilitas KPK sebagai superbody pemberantasan korupsi. Lalu, pemerintah harus tegas dan menggantinya sesuai dengan mekanisme Undang – undang yang telah ada.

Namun, ke mana pun arah perkembangannya, perlulah diingatkan bahwa masyarakat tidak dapat dibohongi. Siapa pun yang mencoba berbohong, tidak jujur, atau membuat rekayasa, betapa pun canggihnya, akan sia-sia. Benar kata sebuah ungkapan, "Crime does not pay." Sejarah telah membuktikannya. Berkali-kali.

Sekali lagi, sekedar mengingatkan agar berhati – hati terhadap manuver panoptikan, sebab kita tidak tahu bahwa telah diawasi dan dikendalikan oleh agen – agen sosial ke dalam keadaan yang sarat kepentingan.

Sabtu, 02 Mei 2009

D.I.Y

Melawan Budaya Konsumtif
DIY (Do. It. Yourself)

ini budaya atau kebudayaan terlalu sering dibicarakan dalam tema-tema besar yang serba abstrak. Seperti dalam pidato-pidato kebudayaan yang menuntut refleksi yang dalam dan kecerdasan nalar-logika yang rumit. Tentu saja ruang-ruang perenungan budaya seperti ini penting. Pada (KOMPAS , 01 Mei 2009) Rubrik FOKUS yang membahas tentang bahaya laten budaya konsumtif yang mungkin saja bisa berimbas pada titik nadir peradaban, tentu saja hal ini membuat gelisah bagi sebagian orang. Di satu sisi, ia bersumber dari dalam, berupa feodalisme dan di sisi lain, ia datang dari luar, dari konsekuensi-konsekuensi globalisasi dan transnasionalisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh banyak faktor , sehingga media massa juga merupakan salah satu peran yang paling dominan lahirnya budaya ini.

Kehidupan kita banyak terhanyut iklan, produk teknologi modern, dan gaya hidup yang serba instan. Keadaan itu semakin ditunjang oleh sistem dunia yang memberi ruang sangat besar pada tumbuhnya kapitalisme dan korporasi global.

Baik dari iklan – iklan ,dan banyak tayangan di televisi tidak mendidik dan mencerahkan, tapi mengajarkan gaya hidup glamor, kekerasan, dan mistik yang menumpulkan akal sehat.

Pelan tapi pasti, sinetron-sinetron yang ada ditelevisi memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak muda, khususnya para pelajar. Imitasi pun banyak dilakukan, mulai dari cara berpakaian, makan, minum, berbicara hingga bergaul. Tetapi tidak elok sepertinya jika kita hanya menyalahkan media massa , sebab kita tidak akan menemukan sebuah solusi jika hanya menyalahkan.

Tapi, sesungguhnya untuk saat ini hal yang paling menarik adalah bagaimana kita melawan konsumerisme. Kesadaran dari setiap individu terhadap budaya konsumtif serta prestisius juga harus dibenahi. Jika dalam keadaan negara yang sekarang sedang morat marit, ditambah lagi dengan perilaku manusianya yang selalu menuruti gaya hidup mewah, glamor dan gengsian, maka segala upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak akan terelakkan lagi. Akibatnya KKN bertebaran dimana-mana, dari tingkat pedesaan hingga pemerintah sentral.

Perlawanan Strategis

Untuk itu ada beberapa bentuk perlawanan strategis yang harus dibangun untuk melawan budaya konsumtif yang bisa kita lakukan.

Pertama, membangun pendidikan kritis terhadap masyarakat , sebab pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran diri dan mengembalikan kemanusiaan manusia. Dalam hal ini pendidikan berperan membangkitkan kesadaran kritis sebagai syarat upaya untuk melawan konsumerisme. Sebab dibalik konsumerisme terdapat proses dehumanisasi dimana orang dipaksakan untuk selalu membeli. Artinya disitu pendidikan adalah bentuk perlawanan paling utama untuk membangun kesadaran masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan sistem sosial ekonomi. Sehingga pendidikan cenderung sebagai sarana untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan dan ketidakadilan. Pendidikan yang memproduksi sistem kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, dan kesadaran lainnya. Sehingga pendidikan diharapkan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk melawan dehumanisasi, eksploitasi kelas, dominasi gender, dan dominasi serta hegemoni budaya lainnya.

Kedua , mengantisipasi budaya instan yang mengganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses, dan prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga harus dilawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya-budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab. Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras.

Ketiga, membangun budaya yang produktif dan berdikari. Budaya yang hanya bisa memakai, menghabiskan waktu dan uang yang tak bermanfaat, harus dilawan dengan budaya yang lebih memberikan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Kalau sekarang kita hanya menjadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk luar negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing), Ubahlah kebiasaan "membeli yang baru" atau istilah bekennya "lembiru" (lempar beli yang baru!) dengan kebiasaan memperbaiki, mendaur ulang, atau "membuat yang baru". Mulai dari hal-hal kecil saja. Hal ini merupakan filosofi dari kaum underground yang biasa disebut DIY (Do It Yourself).

Berbagai hal bisa kita lakukan dalam koridor DIY ini. Mulailah dari lingkungan di sekitarmu. Rumah misalnya. Lihatlah peralatan-peralatan di rumahmu! Adakah yang rusak atau memerlukan sedikit 'sentuhan' baru? Jika ada yang rusak cobalah untuk memperbaikinya sebisa mungkin. Lihatlah, masih banyak hal-hal lain yang bisa kita lakukan. Tergantung inisiatif dan kreatifitas kita. Dengan begitu, kita tidak perlu takut untuk terpengaruh oleh pola hidup konsumtif, dan hedonis. Sebab pada dasarnya kita bukanlah bangsa yang gampang terpengaruh oleh budaya konsumtif yang bisa menghancurkan peradaban.

Medan, 01 Mei 2009

Hormat Penulis

MIQDAD