Related Websites

Senin, 20 April 2009

Nilai UN Sarat Kontradiktif Makna Pendidikan

Masyarakat membutuhkan pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup.

KEBIJAKAN pemerintah menaikkan Standar Nilai Kelulusan Ujian Nasional (UN) 2009 sebetulnya menuai protes dari berbagai pihak. Apalagi dengan menambah porsi mata pelajaran yang diujikan untuk tingkat SLTP dan SLTA serta melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional untuk tingkat SD. Namun dengan alasan peningkatan kualitas pendidikan, standarisias itu tetap dilaksanakan.

Setiap kita punya tujuan dan harapan ketika berada di sekolah. Ada yang bertujuan untuk memberikan kecakapan hidup (life skill), ada yang berharap agar kelak menjadi anak yang cerdas dan pintar. Cerdas dan pintar dalam artian memiliki ilmu pengetahuan, memiliki sikap yang baik serta memiliki keterampilan. Oleh sebab itu, ketika seorang anak menggeluti dunia pendidikan di sekolah, ia diharuskan belajar sejumlah ilmu pengetahuan, nilai-nilai serta ketrampilan. Dan oleh sebab itu, sentuhan dunia pendidikan di sekolah dan di luar sekolah, menyentuh tiga aspek atau domain, yakni pengetahuan (cognitif), sikap (afektif) dan ketrampilan yang sering kita sebut dengan psychomotoris.

Ketiga domain ini menjadi bagian dari tujuan pembelajaran. Apa yang ingin dicapai dari sebuah proses pembelajaran adalah terjadinya perubahan pada tiga ranah ini. Perubahan perilaku yang lebih baik setelah melalui proses belajar.

Banyak hal yang melatarbelakangi fenomena hal itu terjadi di Indonesia , ketika pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan makna pendidikan secara lebih luas. Sehingga sebuah metode pendidikan seperti itu dianut oleh masyarakat hingga kini , lalu untuk mengukur standarisasi seorang siswa adalah angka (nilai).

Banyak definisi pendidikan yang pernah kita dengar. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan makna terhadap pendidikan. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi peserta didik. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai erziehung yang setara dengan educare, yakni: membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi peserta didik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari beberapa definisi pendidikan , hal yang paling mengesankan, ketika salah seorang filsuf terkemuka yaitu Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah alat paling jitu untuk menggugah kesadaran kritis masyarakat tentang eksistensi dirinya sebagai manusia yang juga bagian dari sistem sosial. Oleh sebab itu, menurut Freire proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak bisa berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan itu diselenggarakan.

Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.

Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 /1989 sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur serta memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani.

Singkatnya,orientasinya adalah pada perubahan perilaku yang baik sebagai wujud manusia Indonesia yang utuh dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.

Dengan demikian pendidikan seharusnya merupakan proses penggalian dan pengembangan segenap potensi peserta didik sehingga mampu berkembang secara optimal. Proses ini diarahkan untuk memajukan budi pekerti, kecerdasan, bakat,minat serta jasmani peserta didik sehingga dapat mencapai kesempurnaan hidup.

Namun, apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita dewasa ini sehubungan dengan menguatnya politik evaluasi pendidikan yang dijalankan di lembaga pendidikan kita saat ini, artinya Undang – Undang tersebut juga sarat dengan makna dan filosofis pendidikan. Sedangkan standarisasi UN untuk mencapai kelulusan siswa sangat kontradiktif dengan makna dan filosofi pendidikan. Apa konsideran yang jelas mengenai standarisasi angka untuk kelulusan siswa?

Mengapa semua ini bisa terjadi ? Terkadang, rendahnya kualitas pendidikan selalu dikaitkan dengan angka. Sehingga, ‘angka’ menjadi sebuah standarisasi kelulusan siswa pada Ujian Nasional. Lalu apakah kepintaran dan kecerdasan siswa dalam dunia pendidikan hanya sebatas angka, angka, angka dan angka?
Dimuat di Harian Global 20 April 2009
http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=category&id=57:gagasan&layout=blog&Itemid=65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar