Related Websites

Sabtu, 02 Mei 2009

D.I.Y

Melawan Budaya Konsumtif
DIY (Do. It. Yourself)

ini budaya atau kebudayaan terlalu sering dibicarakan dalam tema-tema besar yang serba abstrak. Seperti dalam pidato-pidato kebudayaan yang menuntut refleksi yang dalam dan kecerdasan nalar-logika yang rumit. Tentu saja ruang-ruang perenungan budaya seperti ini penting. Pada (KOMPAS , 01 Mei 2009) Rubrik FOKUS yang membahas tentang bahaya laten budaya konsumtif yang mungkin saja bisa berimbas pada titik nadir peradaban, tentu saja hal ini membuat gelisah bagi sebagian orang. Di satu sisi, ia bersumber dari dalam, berupa feodalisme dan di sisi lain, ia datang dari luar, dari konsekuensi-konsekuensi globalisasi dan transnasionalisasi nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh banyak faktor , sehingga media massa juga merupakan salah satu peran yang paling dominan lahirnya budaya ini.

Kehidupan kita banyak terhanyut iklan, produk teknologi modern, dan gaya hidup yang serba instan. Keadaan itu semakin ditunjang oleh sistem dunia yang memberi ruang sangat besar pada tumbuhnya kapitalisme dan korporasi global.

Baik dari iklan – iklan ,dan banyak tayangan di televisi tidak mendidik dan mencerahkan, tapi mengajarkan gaya hidup glamor, kekerasan, dan mistik yang menumpulkan akal sehat.

Pelan tapi pasti, sinetron-sinetron yang ada ditelevisi memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak muda, khususnya para pelajar. Imitasi pun banyak dilakukan, mulai dari cara berpakaian, makan, minum, berbicara hingga bergaul. Tetapi tidak elok sepertinya jika kita hanya menyalahkan media massa , sebab kita tidak akan menemukan sebuah solusi jika hanya menyalahkan.

Tapi, sesungguhnya untuk saat ini hal yang paling menarik adalah bagaimana kita melawan konsumerisme. Kesadaran dari setiap individu terhadap budaya konsumtif serta prestisius juga harus dibenahi. Jika dalam keadaan negara yang sekarang sedang morat marit, ditambah lagi dengan perilaku manusianya yang selalu menuruti gaya hidup mewah, glamor dan gengsian, maka segala upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak akan terelakkan lagi. Akibatnya KKN bertebaran dimana-mana, dari tingkat pedesaan hingga pemerintah sentral.

Perlawanan Strategis

Untuk itu ada beberapa bentuk perlawanan strategis yang harus dibangun untuk melawan budaya konsumtif yang bisa kita lakukan.

Pertama, membangun pendidikan kritis terhadap masyarakat , sebab pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran diri dan mengembalikan kemanusiaan manusia. Dalam hal ini pendidikan berperan membangkitkan kesadaran kritis sebagai syarat upaya untuk melawan konsumerisme. Sebab dibalik konsumerisme terdapat proses dehumanisasi dimana orang dipaksakan untuk selalu membeli. Artinya disitu pendidikan adalah bentuk perlawanan paling utama untuk membangun kesadaran masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan sistem sosial ekonomi. Sehingga pendidikan cenderung sebagai sarana untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan dan ketidakadilan. Pendidikan yang memproduksi sistem kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, dan kesadaran lainnya. Sehingga pendidikan diharapkan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk melawan dehumanisasi, eksploitasi kelas, dominasi gender, dan dominasi serta hegemoni budaya lainnya.

Kedua , mengantisipasi budaya instan yang mengganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses, dan prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga harus dilawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya-budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab. Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras.

Ketiga, membangun budaya yang produktif dan berdikari. Budaya yang hanya bisa memakai, menghabiskan waktu dan uang yang tak bermanfaat, harus dilawan dengan budaya yang lebih memberikan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Kalau sekarang kita hanya menjadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk luar negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing), Ubahlah kebiasaan "membeli yang baru" atau istilah bekennya "lembiru" (lempar beli yang baru!) dengan kebiasaan memperbaiki, mendaur ulang, atau "membuat yang baru". Mulai dari hal-hal kecil saja. Hal ini merupakan filosofi dari kaum underground yang biasa disebut DIY (Do It Yourself).

Berbagai hal bisa kita lakukan dalam koridor DIY ini. Mulailah dari lingkungan di sekitarmu. Rumah misalnya. Lihatlah peralatan-peralatan di rumahmu! Adakah yang rusak atau memerlukan sedikit 'sentuhan' baru? Jika ada yang rusak cobalah untuk memperbaikinya sebisa mungkin. Lihatlah, masih banyak hal-hal lain yang bisa kita lakukan. Tergantung inisiatif dan kreatifitas kita. Dengan begitu, kita tidak perlu takut untuk terpengaruh oleh pola hidup konsumtif, dan hedonis. Sebab pada dasarnya kita bukanlah bangsa yang gampang terpengaruh oleh budaya konsumtif yang bisa menghancurkan peradaban.

Medan, 01 Mei 2009

Hormat Penulis

MIQDAD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar