Related Websites

Selasa, 18 Agustus 2009

Mengenang Kepergian si Burung Merak

Kemarin dan esok adalah hari ini / Bencana dan keberuntungan sama saja / Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa//
Kabar duka masih menggelayut di Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok. Belum habis rasa duka yang mendalam dengan kepergian seniman fenomenal Mbah Surip (52) yang dikebumikan Selasa (4/8) malam, kabar duka datang lagi.
Setelah dirawat karena menderita serangan jantung koroner, budayawan dan penyair besar Indonesia WS Rendra wafat pada usia ke-74 di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat.
Pendiri Bengkel Teater yang termasyur itu dikenal sebagai seniman serba bisa, tidak hanya budayawan terkemuka nasional, penyair dan dramawan besar, namun juga seorang aktor.
Disutradarai Sjuman Djaya, dan berpasangan dengan aktris Yati Octavia, pada 1977, Rendra pernah membintangi film remaja "Yang Muda Yang Bercinta," namun kemudian dilarang beredar karena tujuan-tujuan politis saat itu.
Dalam salah satu penampilan puisi terkenalnya pada Mei 1998, di ruang gedung DPR RI semasa awal reformasi, almarhum berorasi dengan membacakan puisi karya aktivis dan penyair Wiji Thukul yang kesohor, "Hanya ada satu kata, Lawan!"
Jauh sebelum itu, pada 1990an, bersama para seniman dan musisi seperti Iwan Fals, Setiawan Jodi, Sawung Jabo, dan lainnya, Rendra menggelar konser Kantata Takwa yang fenomenal dan mengusik rezim Orde Baru saat itu, diantaranya dengan menggelegarkan lagu "Bento" yang penuh kritik.
Di luar kehidupan rumah tangganya yang ramai oleh perhatian media, Rendra mungkin merupakan salah seorang sastrawan Indonesia paling berpengaruh tidak hanya pada dunia seni dan sastra nasional kontemporer, namun juga pergerakan sosial dan politik Indonesia pada empat dekade terakhir.
Lahir pada 7 November 1935 di kota Solo, Jawa Tengah, Rendra yang juga cerpenis ini pernah berkuliah pada Jurusan Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setelah sebelumnya menamatkan SD sampai SMA di St. Yosef, Solo, pada 1955.
Pada 1964, dia memperoleh beasiswa dari American Academy of Dramatical Art, sampai selesai menempuhnya pada 1967.
Salah seorang ikon sastra nasional yang dikenal dengan sebutan "Si Burung Merak" ini terlahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah, dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra.
Sejak masa remaja, Rendra sudah terbiasa menulis naskah drama sampai kemudian menjadi salah seorang dramawan besar Tanah Air, namun dikenal sebagai sastrawan independen dan memiliki ciri khasnya sendiri.
Oleh karena itu, mengutip Prof. A. Teeuw dalam "Sastra Indonesia Modern II (1989)" seperti ditulis Wikipedia Indonesia, Rendra tidak termasuk pada satu pun angkatan sastra Indonesia, baik Angkatan 45, Angkatan 60an dan Angkatan 70an.
Rendra menikah tiga kali dengan tiga perempuan berbeda. Pertama pada 31 Maret 1959 dengan Sunarti Suwandi yang darinya dia dikarunia lima anak, yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Klara Sinta.
Kedua, pada 12 Agustus 1970, dia menikahi murid seninya yang juga keturunan Keraton Yogyakarta, Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat. Dari Sitoresmi, Rendra dikaruniai Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.

Terakhir, Rendra menikahi Ken Zuraida, hingga kemudian dikarunia Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Pada 1979 dan kemudian pada 1981, Rendra berturut-turut menceraikan Sitoresmi dan Sunarti.
Diantara belasan naskah drama terkenalnya adalah "Orang-orang di Tikungan Jalan," "Panembahan Reso," dan "Kasidah Barzani." Rendra juga menulis banyak puisi dan sajak, diantaranya yang terkenal adalah "Nyanyian Angsa" dan "Sajak Rajawali."
Rendra juga beberapa kali memperoleh penghargaan sastra, diantaranya :
* Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Depdikbud,Yogyakarta (1954)
* Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
* Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
* Hadiah Akademi Jakarta (1975)
* Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
* Penghargaan Adam Malik (1989)
* The S.E.A. Write Award (1996)
* Penghargaan Achmad Bakri (2006). (wikipedia.or.id)

Dia pamit bukan tanpa pesan. Melalui sakit yang agak lama dideritanya, sudah ada tanda-tanda sebagai pesan untuk pergi. Si Burung Merakpun terbang bebas menempuh jalan tak terelakkan, yaitu jalan maut miliknya. WS Rendra, sang penyair, sang dramawan, sang eseis, dan budayawan yang digelar Si Burung Merak, dalam sosoknya yang spiritual, telah terbang melepaskan jasad buminya ke langit tinggi yang tak berawan, juga tak bermega mendung, dan tanpa ruang dan waktu yang menggoreskan makna kesementaraan.
Rendra, Si Burung Merak perkasa, telah masuk ke suasana akhirat yang mungkin sangat dekat, dan sekaligus sangat jauh dari tanah air, dari bumi, dan dari alam kefanaan yang menjadi bagian dari lingkungan hidup kita.
Rendra tergolong mereka yang berdiam di angin karena hanya mau berdiri tegak di atas kebenaran meski harus hidup berseberangan dengan banyak orang, terutama dengan mereka yang tenggelam di dalam lumpur kebejatan kekuasaan dan materi. Dia menyatakan, telah kusetubuhi hidup ini dan kutemukan bahwa hidup ini tak perawan lagi.
Rendra bergumul dan bergelut intens dengan hidup ini atau menyetubuhi hidup ini dan menikmatinya dengan caranya sendiri. Dia memasuki hidup ini secara total dan tuntas meski orang lain pun sudah memasukinya dengan caranya masing-masing secara dangkal dan asal-asalan sehingga yang ditemukan bukan orgasmus rohani yang terlepas dari ikatan bumi, melainkan rasa kecewa, rasa bimbang, gamang, dan bahkan frustrasi keduniawian.
Cara Rendra yang telah sungguh-sungguh memasuki kedalaman hidup yang sarat makna telah menghadirkan citra dirinya sebagai sebuah cermin datar bening. Setiap orang dan bahkan masyarakat, bangsa, dan pemerintah dapat bercermin diri ke dalam cerminnya untuk menemukan kurap dan kudis, kuman dan cacat, aib dan dosa dari dirinya atau lembaganya masing-masing.
Kadangkala kejujuran dan keberanian cermin memantulkan secara satirik dan bahkan sarkastis wajah dan tampang objektif setiap orang yang mau bercermin. Siapa yang jujur dan berani menatap wajahnya sendiri dapat mengubah wajahnya lebih baik dengan sikap, tutur kata, dan tindakan nyata yang manusiawi dan berkeadilan.
Senyumnya yang energetik memancarkan energi kemanusiaan dan keadilan melalui karyanya seperti puisi, drama atau teater, dan esei-esei formal atau literer. Sebagai pencinta manusia dan kemanusiaan, dia menjalani sebuah hidup yang terkesan sosialis karena menemani siapapun secara akrab tanpa membedakan suku, agama, profesi, gender, nasionalitas, dan status sosial.
Keagungan dan keanggunan gaya hidup humanistik yang penuh rasa iba kemanusiaan mencitrakan dirinya sebagai seniman bertampang super yang dikiaskan pada burung merak dengan bentangan bulu-bulunya yang penuh warna cemerlang dan kemilau. Si Burung Merak sudah menjelma menjadi burung mitos dalam diri sang raja penyair dan dramawan modern Indonesia, WS Rendra.
Si Burung Merak sudah kembali ke langit melalui rahim bumi, rahim Ibu Pertiwi, yang menerima jasad tubuhnya. Ars longa, vita brevis, karya seni dan buah karya Rendra yang lain akan bertahan jauh lebih lama dari usianya yang sudah selesai dijalaninya. Kita akan tetap bisa berdialog dengan Rendra yang hidup dengan mengapresiasi dan mendalami makna-makna kebenaran, kebaikan, juga berbagai makna pesona serta haru kemanusiaan dalam karya-karyanya, terutama dalam contoh hidupnya yang konsekuen sebagai seniman sejati hingga saat menerima mautnya.
Si Burung Merak sudah terbang jauh dan kehilangan bayang-bayang kepakan sayap-sayapnya dari tatapan mata kita. Namun, sang tokoh yang agung dan anggun itu akan selalu menjadi cermin menarik tempat kita dapat bercermin diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar