Related Websites

Kamis, 23 April 2009

Bersikap Cerdas dalam Menerima Kekalahan

Bersikap Cerdas dalam Menerima Kekalahan

Oleh : Miqdad

Prosesi pesta rakyat khususnya pemilu legislatif telah usai pada tanggal 9 April lalu, namun hal tersebut menciptakan persaingan keras bagi calon legislatif baik di internal dan eksternal partai politik.

Sebab sebanyak 11.215 caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112. 000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota, (www.kpu.go.id). Hal yang paling pasti dalam persaingan itu adalah ada yang terpilih menjadi wakil rakyat, dan ada pula yang tidak.

Untuk para politisi yang berhasil meraup suara rakyat agar melaksanakan janji – janjinya ketika ia berkampanye. Lalu untuk calon legislatif yang tidak terpilih , apakah pernyataan siap menang dan siap kalah itu bisa diterima dan dipertanggung jawabkan? Menerima kemenangan lebih mudah daripada menerima kekalahan.

Semoga semua caleg yang bertarung jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kekalahan. Tidak sebaliknya, jauh-jauh harus sudah berangan-angan menjadi anggota legislatif. Menjadi seorang wakil rakyat harus berdasarkan keinginan untuk mengabdikan diri kepada negara , bukan didasari oleh kekuasaan dan harta semata. Sebab, sejumlah kekecewaan itu dialami para caleg ambisius yang gagal menggapai kursi anggota legislatif.

Yang tidak bisa menerima kekalahan sebagai suatu kewajaran dalam pertarungan yang selalu ada menang dan kalah. Tidak sanggup menerima kekalahan akan sangat memengaruhi mental dan dapat mengguncang kejiwaan. Dikhawatirkan, rumah sakit jiwa menjadi rumah baru bagi para caleg yang kalah itu. Sebab hal yang paling memilukan dihati saya adalah kemarin ketika membaca di beberapa media massa yang memberi kabar seorang calon legislator yang berasal dari Kota Banjar nekat gantung diri, dikarenakan tidak lolos.

Tulisan ini bukan bermaksud under estimated terhadap para calon legislatif yang tidak terpilih pada pemilu legislatif 2009 kali ini. Tetapi lebih mengajak bagaimana caranya untuk membangun cara berfikir dan memiliki sikap yang cerdas dalam menerima kekalahan , serta peran partai politik dalam membangkitkan semangat caleg yang tidak terpilih. Pola berfikir yang harus dibangun yaitu menganggap seluruh biaya yang dikeluarkan selama bertarung memperebutkan kursi legislatif sebagai sedekah kepada masyarakat. Apa yang telah diberikan kepada masyarakat jangan dianggap sebagai nilai yang harus dibayar masyarakat dengan suara di hari pemilihan umum. Berfikir seperti itu , para caleg yang tidak terpilih secara tidak langsung adalah orang yang mengabdikan diri kepada Negara dan masyarakat. Sebab tidak terpilihnya para caleg yang telah berjuang pada pemilu legislatif kali ini, bukan berarti ‘kalah’ dalam segalanya.

Hal yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap siap kalah secara berani. Sebab hal tersebut dapat membangun kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik hanya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tertanam motivasi dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. Apalagi misalnya, persaingan yang berujung pada kekalahan itu telah menelan materi yang tidak sedikit, hingga rumah digadai dan mobil dijual.

Mengutip pernyataan Ketua Forum Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (FJKKJ) dr G Pandu Setiawan, SpKJ (pada KOMPAS 09 April 2009) Anggota keluarga juga memiliki peran dengan menghibur dan menasihati kepada caleg yang gagal terpilih pada Pemilu, 9 April 2009, sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang bersangkutan.

Sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi.

Tanggung Jawab Partai Politik

Calon anggota legislatif bisa mendapatkan nomor urut karena direkrut oleh partai politik. Beberapa alasan partai politik melirik caleg yang bersangkutan karena memiliki kapasitas, kualitas bahkan karena popularitas. Namun, beberapa caleg memberanikan diri untuk mendaftar ke partai politik dengan berbagai alasan, diantaranya ikut merubah nasib bangsa, hanya sekedar coba-coba sampai hanya untuk memenuhi kuota tertentu.

Lolos tidaknya caleg bisa ikut dalam pemilu adalah wewenang partai politik. Partai politik merasa diuntungkan dengan banyaknya caleg yang ada karena dipastikan akan bekerja keras untuk mendapatkan suara bagi caleg yang bersangkutan dan tentunya untuk partai. Namun sayang, partai politik terkesan hanya memanfaatkan si caleg tanpa dibarengi dengan pemahaman yang jelas tentang apa maksud dan tujuan dari pencalegan ini. Bahwa, jabatan legislator adalah sebuah amanah dan pengabdian yang membutuhkan keikhlasan dalam berjuang.

Partai politik seharusnya juga memberikan pemahaman kepada caleg agar harus benar-benar rasional dalam mengeluarkan dana dan materi. Selain itu, parpol juga harus memberikan pemahaman terhadap peta politik kepada para calegnya, sehingga mereka bisa menghitung kalkulasi menang atau kalahnya dalam pemilu. Ini penting karena banyak caleg yang sama sekali tidak tahu menahu tentang peta politik dan prediksi terhadap parpol yang bersangkutan.

Namun apa mau dikata, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Karena ketidaktahuan dan kenekatan para caleg, kini mereka harus menderita karena beban yang mereka pikul terlampau berat. Untuk itu, kini saatnya partai politik ikut andil dalam membina kembali para caleg yang telah berjuang untuk partainya. Jangan hanya mengambil untung dari para caleg, namun disaat mereka membutuhkan bantuan, para pengurus parpol seakan tutup mata dengan keadaan ini.

Parpol harus memberikan dukungan dan bimbingan moral kepada para caleg yang gagal bahwa jabatan sebagai anggota legislative bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi. Masih banyak lahan untuk memberikan darma bhaktinya untuk ibu pertiwi ini.

Celakanya, penyesalan itu bermuara pada keputusasaan yang tidak dapat terkontrol, yang akhirnya melahirkan sakit jiwa. Maka, bagi segenap politisi, harus berfikir cerdas dan bersikap siap mental dalam berpolitik, dengan melakukan tindakan yang terukur dan rasional sesuai dengan kapabilitasnya, baik itu kapabilitas intelektual, material, maupun moral, etika dan nurani.

Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus diterima. Pemenangpun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalahpun, akan menjadi terhormat bila dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya dengan penuh mawas diri dan kerja keras. ***

Penulis adalah Mahasiswa, Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU
Dimuat di Harian Analisa 23 April 2009.
http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13027:bersikap-cerdas-dalam-menerima-kekalahan&catid=78:umum&Itemid=131

Senin, 20 April 2009

Nilai UN Sarat Kontradiktif Makna Pendidikan

Masyarakat membutuhkan pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup.

KEBIJAKAN pemerintah menaikkan Standar Nilai Kelulusan Ujian Nasional (UN) 2009 sebetulnya menuai protes dari berbagai pihak. Apalagi dengan menambah porsi mata pelajaran yang diujikan untuk tingkat SLTP dan SLTA serta melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional untuk tingkat SD. Namun dengan alasan peningkatan kualitas pendidikan, standarisias itu tetap dilaksanakan.

Setiap kita punya tujuan dan harapan ketika berada di sekolah. Ada yang bertujuan untuk memberikan kecakapan hidup (life skill), ada yang berharap agar kelak menjadi anak yang cerdas dan pintar. Cerdas dan pintar dalam artian memiliki ilmu pengetahuan, memiliki sikap yang baik serta memiliki keterampilan. Oleh sebab itu, ketika seorang anak menggeluti dunia pendidikan di sekolah, ia diharuskan belajar sejumlah ilmu pengetahuan, nilai-nilai serta ketrampilan. Dan oleh sebab itu, sentuhan dunia pendidikan di sekolah dan di luar sekolah, menyentuh tiga aspek atau domain, yakni pengetahuan (cognitif), sikap (afektif) dan ketrampilan yang sering kita sebut dengan psychomotoris.

Ketiga domain ini menjadi bagian dari tujuan pembelajaran. Apa yang ingin dicapai dari sebuah proses pembelajaran adalah terjadinya perubahan pada tiga ranah ini. Perubahan perilaku yang lebih baik setelah melalui proses belajar.

Banyak hal yang melatarbelakangi fenomena hal itu terjadi di Indonesia , ketika pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan makna pendidikan secara lebih luas. Sehingga sebuah metode pendidikan seperti itu dianut oleh masyarakat hingga kini , lalu untuk mengukur standarisasi seorang siswa adalah angka (nilai).

Banyak definisi pendidikan yang pernah kita dengar. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan makna terhadap pendidikan. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi peserta didik. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai erziehung yang setara dengan educare, yakni: membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi peserta didik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari beberapa definisi pendidikan , hal yang paling mengesankan, ketika salah seorang filsuf terkemuka yaitu Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan adalah alat paling jitu untuk menggugah kesadaran kritis masyarakat tentang eksistensi dirinya sebagai manusia yang juga bagian dari sistem sosial. Oleh sebab itu, menurut Freire proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak bisa berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan itu diselenggarakan.

Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.

Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 /1989 sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur serta memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani.

Singkatnya,orientasinya adalah pada perubahan perilaku yang baik sebagai wujud manusia Indonesia yang utuh dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.

Dengan demikian pendidikan seharusnya merupakan proses penggalian dan pengembangan segenap potensi peserta didik sehingga mampu berkembang secara optimal. Proses ini diarahkan untuk memajukan budi pekerti, kecerdasan, bakat,minat serta jasmani peserta didik sehingga dapat mencapai kesempurnaan hidup.

Namun, apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita dewasa ini sehubungan dengan menguatnya politik evaluasi pendidikan yang dijalankan di lembaga pendidikan kita saat ini, artinya Undang – Undang tersebut juga sarat dengan makna dan filosofis pendidikan. Sedangkan standarisasi UN untuk mencapai kelulusan siswa sangat kontradiktif dengan makna dan filosofi pendidikan. Apa konsideran yang jelas mengenai standarisasi angka untuk kelulusan siswa?

Mengapa semua ini bisa terjadi ? Terkadang, rendahnya kualitas pendidikan selalu dikaitkan dengan angka. Sehingga, ‘angka’ menjadi sebuah standarisasi kelulusan siswa pada Ujian Nasional. Lalu apakah kepintaran dan kecerdasan siswa dalam dunia pendidikan hanya sebatas angka, angka, angka dan angka?
Dimuat di Harian Global 20 April 2009
http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=category&id=57:gagasan&layout=blog&Itemid=65

Minggu, 19 April 2009

KEINDAHAN DEMOKRASI



Hiruk pikuk pesta demokrasi telah mencapai antiklimaksnya. Ketika sejumlah lembaga survei menayangkan hasil quick countnya, ternyata dari sekian banyak partai hanya 9 partai berhak duduk di kursi legislatif. Mungkin hanya sebagian partai yang sukses, akan bertepuk tangan dan bertepuk dada. Sebaliknya sebagian yang hasilnya tidak memuaskan secara tidak jantan mulai menampilkan kambing hitam. Mulai dari tudingan kecurangan pemilu, masalah DPT, KPU tidak becus, pemerintah curang dan berbagai paranoid lainnya. Tampaknya hal ini adalah sebuah antiklimaksnya yang berpotensi mencederai sebuah demokrasi yang indah yang diharapkan tumbuh di Indonesia.


Dalam sebuah kompetisi demokrasi seperti perhelatan pemilu, kalah dan menang adalah hasil yang harus dihadapi. Sebagian kelompok partai yang sukses pasti sukacita menyikapinya. Sebaliknya tampaknya sebagian besar lagi yang lain akan berduka. Terutama yang perolehan suaranya turun dari pemilu sebelumnya atau partai yang tidak melampaui "electoral threshold".


Keindahan Demokrasi


Barack Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat secara luar biasa. Kandidat Demokrat itu menang telak atas rivalnya John McCain dari partai Republik. John McCain juga luar biasa. Dengan kepala tegak dan kebesaran hati seorang negarawan, dia langsung mengucapkan selamat kepada rivalnya. Dia bahkan menyatakan siap mendukung Obama sebagai Presiden AS. Pernyataan itu disampaikan di hadapan ribuan pendukungnya, kendati para pendukung ada yang mencemooh Obama. Sikap positif McCain sama dengan yang ditunjukkan Hillary Clinton ketika dikalahkan Obama saat bertarung untuk menjadi calon Presiden AS mewakili Partai Demokrat.


"Saya tahu bahwa kemenangannya merupakan kebanggaan bagi kaum Afrika-Amerika. Tapi kemenangannya juga merupakan pilihan rakyat AS. Di negara kita, kesempatan itu terbuka bagi semua orang, tak terkecuali senator Obama yang memiliki ide dan kemampuan. Kita semua orang Amerika. Buat saya, itu ikatan paling penting," ujar McCain berusaha menenangkan pendukungnya. "Biarkan dia memimpin kita. Seluruh warga Amerika harus saling bahu-membahu membantu untuk membawa Amerika kepada kesejahteraan, melindungi segenap bangsa," seru McCain disambut tepuk tangan meriah oleh para pendukungnya.


McCain bahkan mengatakan, nenek Obama Madelyn Dunham, yang meninggal dua hari sebelum pemilihan, pasti bangga dengan keberhasilan cucunya "Sayang dia tidak melihat. Dia pasti bangga dengan kemenangan ini," ujar McCain.

Di Indonesia Langka


Sikap patriotis dan kedewasaan berdemokrasi yang dilakukan McCain itu tampaknya langka dijumpai di Indonesia. Tampaknya sampai saat ini tidak banyak yang bersikap elegan seperti McCain. Banyak kasus menunjukkan seorang calon bupati atau gubernur kalah, bukan memberi selamat kepada pemenang. Tetapi selalu mencari celah untuk menggugat pemilu yang telah dilakukan.


Sebuah contoh besar bagi bangsa ini adalah Megawati sewaktu dikalahkan SBY. Jangankan mengucapkan selamat, sampai sekarang untuk bicara, bertemu muka atau bertegur sapa saja belum pernah. Contoh besar tadi banyak diteladani contoh kecil yang lain. Setelah kalah pemilu, bebagai calon gubernur, calon walikota yang kalah bukan memberi selamat kepada pemenang. Tetapi selalu mencari celah untuk menggugat pemilu yang telah dilakukan. Terdapat calon bupati atau gubernur yang kalah massanya melakukan perusakan kantor KPU atau demo ke DPR. Sementara calon bupati lainnya ada yang sampai sekarang sakit hati mempermasalahkan keabsahan ijazah lawannya yang sudah menang, dan masih banyak lagi contoh ketidak dewasaan, ketidak-eleganan yang belum mencerminkan sikap dewasa dalam berdemokrasi.


Pascapemilu legislatif tampaknya kedewasaan berdemokrasi pelaku politik di Indonesia mulai diuji. Bila dicermati sikap kaum yang kalah ini dapat dinilai kualitas kedewasaan berdemokrasi. Meskipun jarang tetapi harus diapresiasi beberapa politisi yang kalah dengan sportif memberi selamat kepada pemenang dan menyatakan dukungan dan mawas diri terhadap ketidak berhasilannya.


Adalah sesuatu yang manusiawi bila kecewa dalam sebuah kekalahan. Apalagi kekalahan itu melalui pertarungan dengan pengorbanan habis-habisan yang menguras harta dan seluruh hidupnya. Jangankan uang miliaran kadangkala harga diri sudah dikorbankan. Dengan pengorbanan yang demikian besar tersebut maka wajar kalau sikap "tidak siap kalah" akan dialami. Kalaupun sikap tidak elegan tersebut dilakukan, yang pasti tidak akan pernah menguntungkan. Sikap sakit hati dan ketidakdewasaan berpolitik ini akan menambah masalah baru. Lost cost akan bertambah dan memperburuk kredibilitas di mata masyarakat. McCain pun pasti telah mengorbankan jutaan dolar dan segalanya, tapi dengan jiwa demokrat dan tanpa tedeng aling-aling langsung mengucapkan selamat dan dukungan kepada Obama.


Tidaklah heran, saat ini bagi politisi yang tidak sukses sangat mudah untuk menyebutkan kekurangan pemilu. Begitu mudahnya mereka menyebutkan bahwa di kecamatan tertentu ratusan bahkan ribuan orang tidak terdaftar dalam DPT. Padahal faktanya belum tentu yang digembar-gemborkan. Apalagi beberapa kasus tersebut diembuskan lebih kuat lagi oleh berbagai media massa atau elektronik.


Tetapi bila berpikir jernih dan rasional sebenarnya berbagai permasalahan seperti kecurigaan kecurangan pemilu, masalah DPT, KPU tidak becus, dan berbagai paranoid lainnya itu sebenarnya dialami semua peserta pemilu. Atau dengan kata lain, hal itu bukan merupakan penyebab utama kekalahan partai tertentu. Kalaupun hal itu merugikan partai tertentu biasanya tidak terlalu signifikan.


Tetapi bila diduga terjadi kecurangan yang masif dan berat mungkin bisa saja diajukan dalam jalur hukum yang tersedia. Saksi dan partai politik dapat mengadukan melalui KPU kecamatan, kabupaten dan provinsi. Berbagai putusan tentang gugatan pemilu semuanya diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Sejatinya, setiap perkara yang memperkarakan keputusan yang dibuat oleh pejabat negara atau pihak yang melaksanakan urusan pemerintahan diselesaikan di PTUN. KPU selaku pejabat negara ketika mengeluarkan keputusan, maka memiliki peluang untuk digugat oleh individu atau badan hukum perdata. Hanya ada satu keputusan KPU yang tidak bisa digugat oleh melalui PTUN adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum . Artinya selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi objek perkara dalam PTUN. Bila hal ini masih belum dapat diselesaikan dapat diajukan pada Mahkamah Konstitusi.


Seyogianya sikap demokratis McCain harus mengilhami semua politisi di Indonesia. Demokrasi indah yang dipertontonkan negara demokrasi itu harus menjadi contoh setiap politisi dan masyarakat kita. Keberhasilan pemilu di Indonesia nantinya jangan dirusak oleh hujatan kepada KPU dari kaum yang tidak siap kalah. Ketidakberdayaan KPU dalam penyelenggaraaan pemilu yang sempurna adalah sebuah hal yang normatif dalam sebuah kerja yang sangat besar dan berat ini. Kekurangan yang terjadi pada pemilu ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi pemilu presiden berikutnya. Ketidakpuasan elite politik dan sikap gugatan yang berlebihan bagi pemilu akan berpotensi merambah ke masyarakat luas. Bila ini terjadi maka kerawan sosial dan keamanan dalam masyarakat menjadi taruhannya.


Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus diterima. Pemenang pun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalah pun, akan menjadi terhormat bila dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya dengan penuh mawas diri dan kerja keras.

Dimuat di Harian Global pada 16 April 2009

http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4989:keindahan-demokrasi&catid=57:gagasan&Itemid=65

Antara Simbol dan Semangat Kartini

Antara Simbol dan Semangat Kartini


Dari tahun ke tahun pendidikan berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu. Kebanyakan para murid dari golongan pria saja, sedangkan gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Saat itu karena situasi politik yang tak menentu dan ditambah pengaruh adat yang kuat, menjadikan wanita pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Wanita semata-mata hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Setelah melanjutkan sekolah rendah, mereka menjadi gadis-gadis pingitan dan dipersiapkan masuk jenjang berikutnya, yakni berumah tangga.
Di sinilah bangkit sosok R.A. Kartini yang ingin membebaskan kaum wanita atas keterbelakangan dengan kaum pria serta ingin memajukan pendidikan kaum wanita yang tadinya sangat memprihatinkan. Ia terpengaruh oleh para gadis asing yang berpikiran maju selain banyaknya membaca buku dan berkomunikasi dengan orang-orang besar dan berpendidikan. Seperti, Mr. J. H. Abendanon dan istrinya dari golongan etis; Van Kol, pemimpin partai Sosial Demokrat; N. Andrini; Lessy, dan lain-lain.
Kartini hendak mengubah adat lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum wanita. Ia awali dengan memperjuangkan kemajuan dan kedudukan wanita bangsawan, sebab para wanita golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan wanita bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan sekolah untuk para gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi di kemudian hari dapat memperbaiki kedudukan kaum wanita.
Cita-cita dan semangatnya tertuang dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya sejak umur 20 tahun (1899). Di antaranya adalah Mr. J. H. Abendanon dan istrinya.

Dalam surat-suratnya dijelaskan tentang pergaulan lingkungan, keadaan rakyat yang terbelakang, minimnya pendidikan dan pengajaran bagi para gadis. Kartini pun mengecam para pejabat Balanda yang tidak menaruh perhatian kepada rakyat banyak, melainkan hanya menaruh kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan pendidikan bagi orang bumiputra yang mereka anggap sangat membahayakan kedudukan pemerintah Belanda.

April adalah kelahiran Kartini, seorang perempuan asal Jepara. Kelahirannya dirayakan oleh hampir semua kaum perempuan Indonesia. Sosok semasa hidupnya dianggap membawa perubahan bagi kaum hawa Indonesia. Acara-acara yang berjenis “ke-wanita-an” pun tengah digelar, seperti lomba memasak, lomba tata rias wajah, lomba dandan, dan lain-lainnya. Lomba-lomba tersebut ada lingkup RT, RW, kelurahan, hingga kabupaten. Momentum ini sangat ditunggu-tunggu, paling tidak, oleh para pengusaha salon kecantikan dan masakan, karena dapat mendatangkan rizki yang berada di luar kebiasaan itu.


Bagaimana tidak, mereka kebanjiran pesanan untuk mendandani bagi pengusaha salon dan memasak untuk pengusaha masakan di sana-sini. Kegiatan ini tidak hanya didominasi oleh kaum perempuan dewasa (ibu-ibu dan nenek-nenek) dan kelas menengah ke atas saja, tetapi juga dinikmati oleh kalangan anak-anak/remaja yang duduk di bangku TK, SD, SMP, dan SMA. Dan bagi kalangan akademis pun tidak ketinggalan, mereka mengadakan kegiatan dan kajian seperti seminar, diskusi, simposium, dan lain-lainnya yang bertemakan perempuan.
Harus diakui bahwa macam-macam kegiatan seperti yang telah disebutkan di atas kita respon dengan positif, paling tidak masyarakat perempuan Indonesia ternyata masih mengingat dan menghargai peran seorang Kartini. Hanya saja patut pula kita apresiasi dengan sebuah kritik yang bersifat membangun, di antaranya dengan sebuah pertanyaan apakah kaum perempuan saat ini merayakan Hari Kartini dengan hanya sebatas seremonial belaka ataukah dibarengi dengan upaya mengaktualisasikan spirit dan nilai-nilai yang dicita–citakan oleh Raden Ajeng Kartini itu? Penulis sedikit khawatir, jangan-jangan kita hanya terjebak pada acara rutinitas tahunan belaka, sehingga melupakan makna substansi di balik simbolisme Kartini.
Penulis memang harus menyadari, bahwa masyarakat kita yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah dan orang-orang yang tidak biasa dengan lingkungan akademis tak tahu menahu apa makna spirit adanya peringatan kelahiran Kartini ini. Hal itu disebabkan oleh kesalahan sejarah penguasa yang tidak pernah menekankan pada tataran spiritnya, tetapi lebih pada hal-hal simbolis saja seperti lomba tata rias, cara berpakaian, dan masak-memasak.

Sejarah Kartini
Tak bisa dielakan, mengerti akan sejarah riwayat hidup Kartini harus segera ditanamkan pada generasi perempuan Indonesia. Hal ini sangat penting karena dari sejarah riwayat hidupnya kita dapat mengetahui spirit Kartini untuk diterapkan pada masa kini. Nah, dalam tulisan ini penulis hendak memberikan beberapa spirit dari Kartini yang dapat kita ambil dari sejarahnya.
Pertama, perjuangan Kartini sesungguhnya berpusat pada keinginan wanita untuk disetarakan dengan kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan diharapkan maju, berdaya, dan berwawasan luas, serta mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki.


Hal itu tercermin pada surat-surat yang dikirim pada para sahabatnya baik laki-laki maupun perempuan yang ada di Belanda, seperti Ny Ovink Soer, Stella, Prof dr GK Anton, Dr N Andriani, Ny HG de Booy-Boisevain, Ir HH van Kol , Ny N van Kol, Ny RM Abendanon-Mandri, Mr JH Abendanon, serta EC Abendanon. Dalam surat-suratnya begitu gamblang ia membela kaum perempuan dari segala sesuatu yang menurutnya tidak memihak dan tidak ada keadilan pada para perempuan. Di antaranya ia mempertanyakan ajaran-ajaran keagamaan yang memosisikan kaumnya di posisi kedua, dan kritik pedas atas kementrian Belanda perihal sistem pendidikan dan keadaan sosial politik di negeri jajahan Belanda untuk tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Kedua, betapapun ia kritis atas realitas yang kurang memihak pada perempuan, namun Kartini tetap berpegang teguh pada kodratnya sebagai wanita. Hal itu kita dapatkan dari perannya sebagai seorang istri yang setia dan mengurus rumah tangga dengan baik. Ia sangat mengerti hak dan kewajibannya sebagai perempuan dan istri dalam rumah tangganya. Tidak seperti halnya ideologi feminisme yang sering kita dengar saat ini, seperti feminisme marxis, feminisme liberal hingga feminisme postmodernis, kebanyakan di antara mereka melupakan kodratnya sebagai wanita. Aliran-aliran feminisme tersebut sangat tidak sejalan dengan feminisme “ala” Kartini.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sangat nampak fenomena feminisme yang berkiblat pada barat seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Adapun gejala-gejalanya dapat kita lihat dari beberapa hal.
Pertama, adanya keinginan besar dari kalangan aktivis perempuan untuk melepaskan diri dari dominasi kaum laki-laki, di mana salah satunya adalah keengganannya untuk menikah. Menikah bagi penganut ideologi ini dianggap sebagai perangkap laki-laki untuk mendominasi perempuan. Dalam institusi ini, bagi mereka, perempuan tak bisa berkutik untuk mengekspresikan dirinya, malahan yang ada adalah keterjebakan dalam aktivitas-aktivitas yang hanya menguntungkan pihak laki-laki. Alasan lainnya, karena mereka pun tak mau mengurus anak-anak, yang membuat mereka merasa terpenjara.
Harus dimafhumi jika mereka bersikap demikian, lantaran kiblat mereka adalah negara-negara maju yang memang fenomena seperti itu sudah lumrah dan menjadi gaya hidupnya (life style). Di samping itu, mereka pun hanya melihat pada beberapa kasus yang sarat dengan budaya patriarkhi dalam institusi perkawinan yang dilakukan oleh segelintir orang, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap pernikahan.
Kedua, berkarir adalah salah satu jalan untuk memerdekakan diri dari “cengkraman” laki-laki. Kaum feminis perempuan menyibukkan diri pada profesinya dalam semua bidang, karena menganggap dirinya sama dan sederajat dengan kaum laki-laki. Mereka menginginkan jabatan yang tinggi agar mereka pun dapat berkuasa seperti halnya laki-laki. Dengan itu mereka pun mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu sebuah kebebasan.
Kedua hal di atas menjadi trend yang lambat laun telah mengalami peningkatan di beberapa kota besar di Indonesia. Bagi mereka, jika menikah hanya untuk mendapatkan keturunan secara sah, maka hal itu juga dapat dilakukan dengan cara lain yang legal juga. Memang, harus diakui, bahwa ilmu kedokteran telah memberikan peluang bahwa seorang perempuan bisa mempunyai anak atau keturunan tanpa melalui proses kehamilan dan melahirkan. Yakni pembuahan sel telur oleh sperma dilakukan di luar saluran telur seperti pada umumnya, dan jika perlu mereka bisa menyewa rahim orang lain sebagai tempat benih calon anaknya tersebut. Kemajuan ini ternyata dimanfaatkan oleh kalangan feminis yang berpandangan bahwa menikah dan melahirkan bukan merupakan suatu keniscayaan.
Sungguh, femonena di atas menurut penulis adalah sebuah perilaku feminisme kebablasan, yang jauh dari kodrat wanita sesungguhnya. Terkait dengan konteks feminisme Kartini, feminisme “ala” Barat itu tidak sama dengan feminisme yang diusung Kartini. Kartini sama sekali tidak mencabut jati dirinya sebagai perempuan. Akar kewanitaannya tetap teguh meski mengusung feminisme.
Nah, tampaknya feminisme Kartini masih relevan dengan konteks kekinian. Dengan memahami sejarahnya akhirnya kita dapat mengambil spirit hidupnya untuk kita terapkan pada masa kini sesuai dengan konteks masing-masing. Di sinilah kita dapat menjembatani peringatan Hari Kartini antara antara simbolisme dan spiritisme.

Kisah Sedih Para Calon Legislator Tidak Terpilih

Kisah Sedih Para Calon Legislator Tidak Terpilih

Prosesi pesta rakyat khususnya pemilu legislatif telah usai pada tanggal 9 April lalu, namun hal tersebut menciptakan persaingan keras bagi calon legislatif baik di internal dan eksternal partai politik. Sebab sebanyak 11.215 caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112.000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota, (www.kpu.go.id). Namun pada Pemilu legislatif 2009 terdapat banyak kisah cerita calon anggota legislatif (caleg) yang tidak menunjukkan perolehan suara signifikan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Ada yang unik, lucu, bahkan menyedihkan. Di antara mereka malah ada yang memilih jalan pintas, bunuh diri karena malu perolehan suaranya jauh di bawah estimasi semula.
Kecewa memang bisa dimaklumi, tapi kalau harus mengakhiri hidup, itu sudah di luar akal sehat. Seperti yang dilakukan Sri Hayati, calon anggota legislatif Kota Banjar, Jawa Barat, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nomor urut 8 itu ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah. Berdasarkan hasil penghitungan sementara perolehan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjar hingga Selasa, 14 April siang, Sri hanya mendapat tidak lebih dari 10 suara di daerah pemilihan Banjar I yang meliputi Kecamatan Banjar dan Purwaharja.
Hingga saat ini sudah tak terhitung lagi kasus caleg mengalami depresi karena terciumnya kekalahan dari sebuah ambisi tak berbatas. Tingkah laku mereka bermacam-macam. Ada yang linglung, ada yang mengamuk, meminta kembali sarung bantuannya, atau meminta tim sukses mengembalikan biaya selama kampanye, mengusir penduduk yang menempati tanahnya karena kebetulan dia adalah tuan tanah.
Pertarungan senantiasa menghasilkan dua kemungkinan; kalah dan menang. Sehingga menjadi tak elok bila setelah pesta demokrasi lima tahunan itu digelar, para pesertanya malah tidak siap pada dua kemungkinan itu. Pendirian klasik kerap ditemui, hanya siap menang tapi tak siap kalah. Biaya tinggi selama sosialisasi dan kampanye selalu menjadi alasan mengapa seseorang tidak siap kalah. Padahal baiaya-biaya itu adalah harga yang harus dikorbankan.
Namun, sebagian kecil saja di antara mereka yang menganggapnya lumrah. Biaya besar tersebut apapun alasannya harus kembali, atau paling tidak mendatangkan kemenangan, sementara biaya besar tidaklah berbanding lurus dengan kemenangan.
Saat ini perhitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berlangsung. Meski sudah ada kepastian kemenangan partai versi lembaga penghitung cepat, versi KPU tetap saja dinanti, karena versi inilah menjadi dasar resmi satu-satunya dari seluruh keputusan menang-kalah itu. Di tangan KPU dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), para petarung menggantungkan nasib. Pasalnya, bila panitia melakukan kesalahan penghitungan, disengaja atau tidak, maka seorang caleg akan bernasib lain.
Hari-hari menegangkan sesungguhnya terjadi bukan pada saat kampanye, melainkan beberapa hari setelah pemberian suara oleh rakyat. Karena itu, bila hingga hari ini kita masih menemukan atau mendengar tingkah laku aneh para caleg, maka hal itu menjadi lumrah. Sebab, hari-hari itu merupakan hari-hari yang panjang dan melelahkan.
Terasa panjang karena menanti sebuah kepastian yang justru mengaduk-aduk perasaan; cukup atau tidak perolehan suara partainya untuk harga sebuah kursi. Kalaupun cukup, apakah kursi itu untuk dia atau justru buat kader lain separtai.
Tulisan ini bukan bermaksud under estimated terhadap para calon legislatif yang tidak meraih pada pemilu legislatif 2009 kali ini. Tetapi lebih mengajak bagaimana caranya untuk membangun cara berfikir dan memiliki sikap yang cerdas dalam menerima kekalahan , serta peran partai politik dalam membangkitkan semangat caleg yang tidak terpilih.
Bersikap Positif
Pola berfikir yang harus dibangun yaitu menganggap seluruh biaya yang dikeluarkan selama bertarung memperebutkan kursi legislatif sebagai sedekah kepada masyarakat. Apa yang telah diberikan kepada masyarakat jangan dianggap sebagai nilai yang harus dibayar masyarakat dengan suara di hari pemilihan umum. Berfikir seperti itu , para caleg yang tidak terpilih secara tidak langsung adalah orang yang mengabdikan diri kepada Negara dan masyarakat. Sebab tidak terpilihnya para caleg yang telah berjuang pada pemilu legislatif kali ini, bukan berarti ‘kalah’ dalam segalanya. Hal yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap siap kalah secara berani. Sebab hal tersebut dapat membangun kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik hanya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tertanam motivasi dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi.
Calon anggota legislatif bisa mendapatkan nomor urut karena direkut oleh partai politik. Beberapa alasan partai politik melirik caleg yang bersangkutan karena memiliki kapasitas, kualitas bahkan karena popularitas. Namun, beberapa caleg memberanikan diri untuk mendaftar ke partai politik dengan berbagai alasan, diantaranya ikut merubah nasib bangsa, hanya sekedar coba-coba sampai hanya untuk memenuhi kuota tertentu.
Untuk itu, kini saatnya partai politik ikut andil dalam membina kembali para celeg yang telah berjuang untuk partainya. Jangan hanya mengambil untung dari para caleg, namun disaat mereka membutuhkan bantuan, para pengurus parpol seakan tutup mata dengan keadaan ini. Parpol harus memberikan dukungan dan bimbingan moral kepada para caleg yang gagal bahwa jabatan sebagai anggota legislative bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi. Masih banyak lahan untuk memberikan darma bhaktinya untuk ibu pertiwi ini.

Kamis, 16 April 2009

Pasca Pemilu Legislatif 2009

Bersikap Positif Menerima Kekalahan Pada Pemilu Legislatif 2009.

Prosesi pesta rakyat khususnya pemilu legislatif telah usai pada tanggal 9 April lalu, namun hal tersebut menciptakan persaingan keras bagi calon legislatif baik di internal dan eksternal partai politik. Sebab sebanyak 11.215 caleg memperebutkan 560 kursi DPR, dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi DPD. Selain itu, sekitar 112.000 orang bertarung untuk mendapatkan 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota, (www.kpu.go.id). Hal yang paling pasti dalam persaingan itu adalah ada yang terpilih menjadi wakil rakyat, dan ada pula yang tidak. Untuk para politisi yang berhasil meraup suara rakyat dari Bilangan Pembagi Pemilih, adalah melaksanakan janji – janjinya ketika ia berkampanye. Lalu untuk calon legislatif yang tidak terpilih , apakah pernyataan siap menang dan siap kalah itu bisa diterima dan dipertanggung jawabkan? Menerima kemenangan lebih mudah daripada menerima kekalahan. Semoga semua caleg yang bertarung jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kekalahan. Tidak sebaliknya, jauh-jauh harus sudah berangan-angan menjadi anggota legislatif. Menjadi seorang wakil rakyat harus berdasarkan keinginan untuk mengabdikan diri kepada negara , bukan didasari oleh kekuasaan dan harta semata. Sebab, sejumlah kekecewaan itu dialami para caleg ambisius yang gagal menggapai kursi anggota legislatif. Yang tidak bisa menerima kekalahan sebagai suatu kewajaran dalam pertarungan yang selalu ada menang dan kalah. Tidak sanggup menerima kekalahan akan sangat memengaruhi mental dan dapat mengguncang kejiwaan. Dikhawatirkan, rumah sakit jiwa menjadi rumah baru bagi para caleg yang kalah itu. Sebab hal yang paling memilukan dihati saya adalah kemarin ketika membaca di beberapa media massa yang memberi kabar seorang calon legislator yang berasal dari Kota Banjar nekat gantung diri, dikarenakan tidak lolos.Tulisan ini bukan bermaksud under estimated terhadap para calon legislatif yang tidak terpilih pada pemilu legislatif 2009 kali ini. Tetapi lebih mengajak bagaimana caranya untuk membangun cara berfikir dan memiliki sikap yang cerdas dalam menerima kekalahan , serta peran partai politik dalam membangkitkan semangat caleg yang tidak terpilih. Pola berfikir yang harus dibangun yaitu menganggap seluruh biaya yang dikeluarkan selama bertarung memperebutkan kursi legislatif sebagai sedekah kepada masyarakat. Apa yang telah diberikan kepada masyarakat jangan dianggap sebagai nilai yang harus dibayar masyarakat dengan suara di hari pemilihan umum. Berfikir seperti itu , para caleg yang tidak terpilih secara tidak langsung adalah orang yang mengabdikan diri kepada Negara dan masyarakat. Sebab tidak terpilihnya para caleg yang telah berjuang pada pemilu legislatif kali ini, bukan berarti ‘kalah’ dalam segalanya. Hal yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap siap kalah secara berani. Sebab hal tersebut dapat membangun kedewasaan politik, kecerdasan politik dan ketulusan atau keikhlasan politik. Keikhlasan politik hanya dapat terjadi jika di dalam diri para politisi telah tertanam motivasi dalam perjuangan politiknya, yakni ingin menyejahterakan rakyat, tidak lebih. Ketiadaan keikhlasan dalam berpolitik biasanya selalu melahirkan kekecewaan dan penyesalan ketika menghadapi kekalahan. Apalagi misalnya, persaingan yang berujung pada kekalahan itu telah menelan materi yang tidak sedikit, hingga rumah digadai dan mobil dijual.

Peran Keluarga

Mengutip pernyataan Ketua Forum Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (FJKKJ) dr G Pandu Setiawan, SpKJ (KOMPAS 09 April 2009) Anggota keluarga juga memiliki peran dengan menghibur dan menasihati kepada caleg yang gagal terpilih pada Pemilu, 9 April 2009, sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang bersangkutan.

sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi.

Tanggung Jawab Partai Politik
Calon anggota legislatif bisa mendapatkan nomor urut karena direkut oleh partai politik. Beberapa alasan partai politik melirik caleg yang bersangkutan karena memiliki kapasitas, kualitas bahkan karena popularitas. Namun, beberapa caleg memberanikan diri untuk mendaftar ke partai politik dengan berbagai alasan, diantaranya ikut merubah nasib bangsa, hanya sekedar coba-coba sampai hanya untuk memenuhi kuota tertentu.
Lolos tidaknya caleg bisa ikut dalam pemilu adalah wewenang partai politik. Partai politik merasa diuntungkan dengan banyaknya caleg yang ada karena dipastikan akan bekerja keras untuk mendapatkan suara bagi caleg yang bersangkutan dan tentunya untuk partai. Namun sayang, partai politik terkesan hanya memanfaatkan si caleg tanpa diberangi dengan pemahaman yang jelas tentang apa maksud dan tujuan dari pencalegan ini. Bahwa, jabatan legislator adalah sebuah amanah dan pengabdian yang membutuhkan keiklasan dalam berjuang.
Partai politik seharusnya juga memberikan pemahaman kepada caleg agar harus benar-benar rasional dalam mengeluarkan dana dan meteri. Selain itu, parpol juga harus memberikan pemahaman terhadap peta politik kepada para celegnya, sehingga mereka bias menghitung kalkulasi menang atau kalahnya dalam pemilu. Ini penting karena banyak caleg yang sama sakali tidak tahu menahu tentang peta politik dan prediksi terhadap parpol yang bersangkutan.
Namun apa mau dikata, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Karena ketidaktahuan dan kenekatan para caleg, kini mereka harus menderita karena beban yang mereka pikul terlampau berat. Untuk itu, kini saatnya partai politik ikut andil dama membina kembali para celeg yang telah berjuang untuk partainya. Jangan hanya mengambil untung dari para caleg, namun disaat mereka membutuhkan bantuan, para pengurus parpol seakan tutup mata dengan keadaan ini.
Parpol harus memberikan dukungan dan bimbingan moral kepada para caleg yang gagal bahwa jabatan sebagai anggota legislative bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi. Masih banyak lahan untuk memberikan darma bhaktinya untuk ibu pertiwi ini.

Celakanya, penyesalan itu bermuara pada keputusasaan yang tidak dapat terkontrol, yang akhirnya melahirkan sakit jiwa. Maka, bagi segenap politisi, harus berfikir cerdas dan bersikap siap mental dalam berpolitik, dengan melakukan tindakan yang terukur dan rasional sesuai dengan kapabilitasnya, baik itu kapabilitas intelektual, material, maupun moral, etika dan nurani. Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus diterima. Pemenangpun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalahpun, akan menjadi terhormat bila dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya dengan penuh mawas diri dan kerja keras.


Senin, 13 April 2009

Meredam Konflik Pasca Pemilu Legislatif 2009


Pemilu legislatif telah diselenggarakan pada tanggal 9 April 2009. Suhu perpolitikan pun kian memanas, seiring dengan persaingan di antara para calon legislatif. Lobi–lobi politik pun cukup intens dilakukan oleh para calon presiden yang akan bertarung dalam pada pilpres mendatang.
Ketatnya persaingan antarcalon legislatif, disinyalir menjadi salah satu pemicu konflik dalam Pemilu. Kondisi ini jelas memacu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga harus bekerja ekstra keras untuk bisa mewaspadai sejak dini kemungkinan terjadinya konflik selama pelaksanaan Pemilu.
Konflik tersebut muncul, apabila terdapat perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat untuk memperebutkan kekuasaan.
Konflik kekerasan merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omni-presence) dalam setiap pandangan dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat dalam partai politik yang telah menjadi hal sangat alamiah dan sulit sekali untuk dihindarkan. Akan tetapi, hal itu akan menjadi persoalan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis.
Kekerasan, atau apapun namanya, tidak akan bernilai positif. Bahkan sebaliknya, kekerasan hanya akan menarik dan memunculkan persoalan baru atau kekerasan lebih besar. Kekerasan hanya mewariskan penderitaan dan kesengsaraan bagi korbannya. Peradaban bangsa Indonesia ini akan semakin terpuruk jika budaya kekerasan terus disemaikan.
Benturan kepentingan dan perbedaan ideologi, baik yang bersifat horizontal antara kelompok partai yang satu dengan partai lainnya dari para pendukung calon legislatif masing-masing serta masyarakat dengan panitia KPU pun bisa menyebabkan konflik, bila pada tingkat KPUD, yang tidak bersifat netral terutama saat penghitungan suara. Karena bagaimanapun, dalam kondisi tersebut banyak terjadi kecurangan politik. Yang sudah seharusnya bisa direduksi oleh setiap panitia pengawas Pemilu 2009. Ada beberapa cara untuk mencegah yang harus dilakukan oleh KPU Pusat, Panwaslu dan KPUD jika nantinya terjadi konflik pasca Pemilu legislatif 2009. Pertama, perlu dilakukan koalisi pemerintah pusat dan daerah yang stabil di antara partai-partai politik.
Kedua, perlunya penerapan prinsip proporsionalitas. Menurut prinsip ini, posisi-posisi pemerintahan daerah yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik, sesuai dengan proporsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
Ketiga, diterapkannnya sistem saling veto. Yakni sebuah siswam di mana keputusan politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik yang berkonflik.
Kekerasan sebagai letupan kristalisasi atas ketidakpuasan massa terhadap perbedaan, politik haruslah bisa diredam dan disikapi dengan kepala dingin serta mengedepankan nalar yang kritis secara arif dan bijaksana dalam memandang sebuah persoalan politik. Bukan lantas mengusung egoisme serta anarkisme secara brutal dalam menyelesaikan masalah sosial-politik.

Menjadi Pemilih Pemula Cerdas Menuju Pemilu Berkualitas

Pemilu sudah di depan mata, berbagai kalangan dan partai politik sudah siap-siap memperebutkan suara kita. Sebagai pemilih yang cerdas ini merupakan penyadaran, terutama bagi pemilih pemula untuk menggunakan potensi akalnya secara sadar memutuskan suatu pilihan. Ini dapat menekan kegamangan kepada kita caleg mana yang pantas dipilih dari sekian ribu foto mereka yang bertebaran di seluruh penjuru mata angin, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga caleg tingkat pusat.

Untuk itu penting untuk memperkuat kualitas pemilu 2009, sehingga rakyat tidak seperti membeli “kucing dalam karung”. Di sinilah perlu kecerdasan, terutama pemilih pemula di tengah isu kampanye, dengan menabur kata yang selangit namun tak konkrit. Atau tampang-tampang yang memukau di baliho, namun belum tentu sesuai yang aslinya.

Jika kita kaji selintas , ada 34 partai politik yang berhasil lolos menjadi peserta dalam pemilu 2009 ini, 16 di antaranya partai lama, dan 18 partai baru. Ketika hendak menggunakan hak kita untuk memilih salah satu dari mereka yang ada, sebaiknya jangan terburu-buru mengambil keputusan. Harus benar-benar kita pahami isi partai yang akan dipilih. Bagaimana program dan prinsipnya, orang-orang yang ada di dalamnya, dan kerja nyata partai yang bersangkutan “di” maupun “untuk” masyarakat, sejak partai itu didirikan. Partai politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Alat, sebaik apapun dia, bergantung pada pengguna dan daya dukung yang memungkinkannya bekerja dengan baik. Tanpa itu, alat, termasuk partai politik, tak lebih dari seonggok barang yang hanya layak berada di tempat sampah. Alat dan tujuan, adalah dua hal yang tak terpisahkan. Entah untuk tujuan baik atau buruk, tetap memerlukan alat untuk mencapainya. Sebagai pemilih cerdas kita harus mengetahui track record caleg, partai dan lainnya sebelum memutuskan untuk memilih. Pemilih juga harus menghukum wakilnya yang telah gagal memegang kepercayaan, dengan tidak lagi memilihnya, bukan berarti harus golput. Golput bukan solusi sebab hanya akan memberi peluang bagi politisi busuk. Pertanyaanya adalah bagaimana kita sebagai pemilih pemula yang relatif belum bisa mengenali partai dan calon wakil rakyat yang benar-benar hendak memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa pandang bulu.

Berikut adalah langkah yang harus dilakukan agar kita menjadi pemilih pemula yang cerdas,

Pertama, mampu membuang jauh-jauh ilusi berbagai klaim yang dikampanyekan partai politik. Artinya, jangan langsung mempercayai partai-partai yang mengaku sebagai kaum demokrat, mampu berkarya, menjunjung tinggi hati nurani, membela wong cilik, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, mengemban amanat nasional, berjiwa pembaharu, menjunjung kebangsaan, persatuan dan sebagainya.

Kedua, bisa mengenali dengan jernih partai-partai yang hanya bekerja atau mendekati rakyat pada saat menjelang pemilu. Artinya, jangan mempercayai, apalagi memberi dukungan pada partai-partai yang tiba-tiba akomodatif terhadap kebutuhan rakyat. Contoh, partai atau individu-individu dari partai tertentu yang mengobral janji dan sumbangan perbaikan jalan serta sarana umum lainnya saat menjelang pemilu. Atau partai politik yang menyuap pemilih agar memilih partainya. Jangan pernah mempercayai partai politik seperti itu, sampai kapan pun.

Ketiga, memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk politik, partai politik, konstitusi, parlemen dan ketatanegaraan Indonesia yang mencukupi. Tanpa pengetahuan itu, memilih partai politik dalam pemilu sama dengan membeli barang yang tak jelas juntrungannya. Bukan keuntungan yang kita dapat, tetapi kerugian.

Keempat, Riset dan selidiki track record caleg pilihan Anda. Cek di internet, apa saja yang sudah ia katakan, lakukan, latar belakang pribadi, pendidikan, prestasinya, atau afiliasi kelompok atau politiknya. Kalau sudah terkenal biasanya ia punya website/blog pribadi, sehingga kita akan mudah mendapatkan data dan informasi yang cukup tentang caleg itu.

Kelima, Tapi kalau ia tidak pernah atau jarang bersentuhan dengan dunia media, baik

cetak, elektronik, maupun internet, lakukan secara offline. Memang butuh waktu ekstra, misalnya dengan bertanya2 kepada tetangga yang tinggal di sekitar rumahnya, teman-temen sekolahnya, koleganya, atau bahkan pesaing-pesaingnya.

Keenam, Kalau ada kesempatan, ajak si caleg berdiskusi secara langsung. Mulailah dari tema-tema yang menjadi concern-nya (Dapat kita lihat dari poster, spanduk, dan atribut kampanyenya yang lain—yang seringkali hanya slogan tanpa konsep), hingga berkaitan dengan isu-isu yang menjadi kepentingan bangsa. Misalnya, soal perekonomian dan kesejahteraan umat, harga BBM dan lain-lain.

Ketujuh, Pastikan juga dalam proses di atas, apakah ia orang yang FAST (fathanah, amanah, shiddiq, tabligh), atau tidak, dan lain-lain. Gagasan dari caleg yang layak pilih adalah gagasan yang rasional dan mencerdaskan, mendewasakan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah cukup yakin dengan pilihan Anda, lebih jauh lakukan “kontrak politik” dengan caleg pilihan Anda. Buat komitmen permanen, untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Bentuknya bisa berbentuk lisan maupun tertulis, bersama-sama atau sendiri. Isinya bisa apa saja, apakah berupa janji kalau ia terpilih menjadi wakil rakyat, ia akan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan umat atau rakyat dan lain–lain.

Meski telah memasuki massa tenang sedang berlangsung, tidak ada kata terlambat untuk mencari tahu. Kini pemilu semakin tinggal menunggu hitungan menit. Kampanye janji-janji sebentar lagi akan digelar. Sebagai pemilih cerdas, tidak perlu menghabiskan tenaga dan pikiran karena bingung akan memilih partai yang mana. Cukup kita jalani ketujuh tips diatas.

Pemilu 2009

Konsekuensi Untuk Para Pengumbar Janji

Pesta demokrasi tinggal menunggu hitungan hari. Partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) mulai berlomba menarik simpati warga lewat kampanye dengan janji - janji politik.

Jika kita kaji selintas, janji politik lebih banyak tidak dipenuhi ketika seorang calon anggota legislatif terpilih. Ia tidak punya komitmen untuk memenuhi janjinya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa janji politik hanyalah sebuah kampanye untuk menarik pemilih sebesar-besarnya, dan setelah terpilih merasa tidak ada kewajiban untuk memenuhinya. Tegasnya janji politik hanya bersifat sementara alias bohong, yang ketika calon anggota legislatif itu terpilih tidak merasa berkewajiban untuk memenuhinya. Seringkali, mereka yang berambisi untuk jadi wakil rakyat bukan terdorong oleh niat untuk memajukan bangsa dan negara tetapi lebih sering untuk meraih tahta dan harta serta mungkin saja wanita atau pria. Mereka berkilah untuk menang dalam pemilu modalnya banyak, apalagi untuk memasang wajah mereka di media massa, spanduk, baliho, pohon atau plang yang berada di pinggir jalan, sehingga wajar jika mereka ketika terpilih dan menjabat berusaha untuk mengembalikan modal, bunga plus keuntungan yang banyak. Akibatnya, mereka hanya memikirkan bagaimana mereka dapat mengembalikan modal. Mereka hanya memikirkan bagaimana memenuhi janji mereka kepada tim sukses. Mereka hanya memikirkan bagaimana keluarga besar mereka mendapat kedudukan dan kekayaan. Akibatnya, mereka hanya memikirkan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan mereka tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat yang seharusnya dipikirkan. Semoga apa yang telah saya tulis diatas merupakan hal yang salah, tetapi jika hal itu benar sudah saatnya kita sebagai pemilih harus berani mengikat janji mereka. Sebab fenomena memiriskan hati masyarakat tersebut tidak dapat dituntut secara hukum. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan sebelum mengikat janji mereka, Pertama, pelajari dan analisis visi, misi dan program saat kampanye. Kedua, ajukan kasus dan permasalahan yang ada untuk diperjuangkan selama mereka menjabat di daerah pemilihan para calon wakil rakyat ketika mereka kampanye. Ketiga, rekamlah dalam bentuk video, ketika mereka menebar janji politik. Hal ini sangat berguna ketika para calon wakil rakyat yang terpilih nantinya tidak memiliki komitmen untuk memenuhi janji mereka. Sebab rekaman tersebut dapat kita putar di lapangan terbuka dan mengundang seluruh elemen masyarakat , pengurus parpol mereka , serta konstituennya untuk melakukan kegiatan nonton bareng video tersebut. Akan sangat menarik kalau acara nonton bareng tersebut mengundang beberapa media massa untuk meliput kegiatan tersebut. Karena media massa merupakan salah satu pilar terbesar dalam demokrasi.

Jika ketiga tahapan tersebut telah dilakukan, hal yang tepat adalah mengajukan rekomendasi hukuman yang memiliki konsekuensi moral kepada para calon wakil rakyat yang akan terpilih. Misalnya dengan cara bekerja sama dengan tokoh - tokoh masyarakat sekitar untuk mengucilkan keluarga mereka disekitar rumahnya ketika ia tidak memenuhi janji kampanyenya. Untuk itu hanya konsekuensi moral yang mampu mengikat janji mereka ketika kampanye.